Ada apa dengan "pada suatu hari"?
Tidak. Tidak ada yang salah dengan kalimat itu. Yang menjadi soal kata-kata itu sudah sering ditulis. Kemarin, kemarinnya lagi. Bahkan, lima puluh tahun yang lalu saat saya duduk di bangku SD, dalam mengarang saya dan teman-teman sering menggunakan kalimat itu ketika memulai karangan.
Agak mengherankan, hari ini, cara membuka karangan masih ada yang menggunakan kalimat itu. Terkadang modifikasinya hanya: Di sebuah desa, di kota, di gang sempit ... ; hiduplah sepasang petani miskin, seorang baik hati, seorang ... (lanjutkan sendiri). Padahal masih banyak kalimat-kalimat menarik dalam membuka sebuah cerpen (kalau kita mau membaca).
Membuka cerpen dengan frasa seperti itu (pada suatu hari) membuat cerita terkesan bertele-tele. Juga sulit mengajak keingintahuan pembaca untuk membaca lebih lanjut. Tersita banyak kalimat sebelum sampai pada konflik cerita.
Perlu diingat, cerpen itu akronim dari cerita pendek. Jadi bagaimana kita menyajikan cerita secara ringkas. Membuka cerpen sebaiknya langsung menonjok persoalan . Apalagi kini bermunculan cerita-cerita mini ala flash fiction, yang hanya sekitar 200 sampai 300 kata. Mendedahkan dan menyelesaikan konflik cerita secara ringkas.
Para cerpenis berpengalaman boleh dikata tidak ada lagi, dalam membuka cerpennya, menggunakan kalimat "pada suatu hari". Bahkan novel yang beratus halaman pun mengawali cerita langsung menghujam ke jantung konflik.
"Kurator ternama Jacques Sauniere berjalan terhuyung-huyung melewati lengkungan kubah Grand Gallery museum. Dia menerjang lukisan terdekat yang bisa dilihatnya, karya Caravaggio. Dengan mencengkeram bingkai bersepuh emas, lelaki berusia 76 tahun itu merenggut mahakarya tersebut ke arahnya, sampai lukisan itu tercabut dari dinding dan Sauniere terjengkang di bawah kanvas ...."
Itu contoh paragraf pembuka dalam novel The Da Vinci Code karya Dan Brown (Penerbit Bentang). Awal cerita saja sudah langsung mengajak pembaca menyelami ketegangan.
Bagaimana mungkin bisa menggoda pembaca agar dia mau membaca cerpen yang kita tulis kalau paragraf pembukanya sudah sangat umum. Pembaca mungkin langsung menghentikan bacaannya karena dianggap kurang menarik. Selain itu, tentu, judul yang membuat pembaca menduga-duga, apa maksud dari cerpen itu. Judul adalah cerminan singkat dari tubuh cerpen.
Banyak cara sebenarnya dalam mengawali sebuah paragraf cerita. Pada umumnya cerpen-cerpen yang bagus itu langsung ke inti persoalan.
Ini contohnya:
"Seorang wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu ...." (Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? -- Hamsad Rangkuti; dimuat di Kompas Minggu, 15 Februari 1998).
"Ini cerita tentang para pemabuk, tetapi kau bisa membacanya dengan pikiran tenang menurut caramu sendiri. Jika kau tinggal serumah dengan orang yang bising, kurasa ada baiknya kau menyingkir sebentar ...." (Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut -- A.S. Laksana; dimuat di Koran Tempo).
Tapi bagaimana kalau dalam membuka cerita tetap menggunakan, pada suatu hari? Ya, rapopo.
Yuk, sama-sama belajar.
***
Lebakwana, Juli 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H