Sebuah kota, sebut saja begitu.
Seorang perempuan di bawah lampu, gemetar. Pada keningnya banyak tanda. Warna tanah yang tandus. Kampung yang ditinggalkan. Ibu, Bapak, adik-adik, juga rumah yang selalu kemarau.
Percakapan kering, karena takada lagi air mata untuk membasahi. Mimpi-mimpi serupa bayang, sekelebat ada lalu cepat menghilang. Harus ada yang memecah rasa takut. Kalau tidak impian hanya melintas laksana kabut. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Pergilah ia, perempuan itu. Langkah-langkah yang berat, doa-doa yang sarat. Di depan, entahlah. "Jangan berati langkahku dengan air mata," pinta perempuan itu kepada ibu-bapaknya.
Dan kota terlalu congkak untuk sekadar mengucapkan selamat datang.
Cahaya-cahaya menyilaukan matanya. Dan ia hanya punya dua pilihan: diambil atau ia tak mendapatkan apa-apa. Pun, takada cerita untuk surut langkah. Sampai pada titik, perempuan itu tak peduli bagaimana cara membedakan, ini cahaya yang menyejukkan atau lampu tempat tawar-menawar berapa harga dirinya.
Rumah yang hampir rubuh, mimpi-mimpi yang sudah runtuh, menutupi mata hatinya. Tetangga, tetangganya lebih pandai dari orang kota. Mereka sudah pintar untuk tak melihat, bahwa dapur mereka jarang mengeluarkan asap.
Jadi, mengapa harus dipedulikan?
Perempuan itu pun berjalan, menari, sesuai irama yang dimainkan. Kini ia tahu memilih warna lipstick-nya untuk disinkronkan dengan baju yang dipakai. Berbagai polesan pada wajah. Tentu, sudah paham jarak berapa centi di atas lutut rok yang dikenakannya.
Siang bertukar malam. Malam menghela impian. Tertawa. Lupa. Rindu. Benci. Sampai batas mana cinta akan didapatkan?