Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Cerita Sangat Biasa

13 Juli 2024   20:01 Diperbarui: 13 Juli 2024   20:05 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah kota, sebut saja begitu.

Seorang perempuan di bawah lampu, gemetar. Pada keningnya banyak tanda. Warna tanah yang tandus. Kampung yang ditinggalkan. Ibu, Bapak, adik-adik, juga rumah yang selalu kemarau.

Percakapan kering, karena takada lagi air mata untuk membasahi. Mimpi-mimpi serupa bayang, sekelebat ada lalu cepat menghilang. Harus ada yang memecah rasa takut. Kalau tidak impian hanya melintas laksana kabut.                        

Pergilah ia, perempuan itu. Langkah-langkah yang berat, doa-doa yang sarat. Di depan, entahlah. "Jangan berati langkahku dengan air mata," pinta perempuan itu kepada ibu-bapaknya.

Dan kota terlalu congkak untuk sekadar mengucapkan selamat datang.

Cahaya-cahaya menyilaukan matanya. Dan ia hanya punya dua pilihan: diambil atau ia tak mendapatkan apa-apa. Pun, takada cerita untuk surut langkah. Sampai pada titik, perempuan itu tak peduli bagaimana cara membedakan, ini cahaya yang menyejukkan atau lampu tempat tawar-menawar berapa harga dirinya.

Rumah yang hampir rubuh, mimpi-mimpi yang sudah runtuh, menutupi mata hatinya. Tetangga, tetangganya lebih pandai dari orang kota. Mereka sudah pintar untuk tak melihat, bahwa dapur mereka jarang mengeluarkan asap.

Jadi, mengapa harus dipedulikan?

Perempuan itu pun berjalan, menari, sesuai irama yang dimainkan. Kini ia tahu memilih warna lipstick-nya untuk disinkronkan dengan baju yang dipakai. Berbagai polesan pada wajah. Tentu, sudah paham jarak berapa centi di atas lutut rok yang dikenakannya.

Siang bertukar malam. Malam menghela impian. Tertawa. Lupa. Rindu. Benci. Sampai batas mana cinta akan didapatkan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun