Mungkin ini yang pertama kali, sebuah novel ditulis oleh 33 penulis dan direalisasikan dalam sebuah bentuk buku. Kami menyebutnya NoBar -- novel bareng. Tanpa pernah duduk satu meja, juga sebagian besar belum pernah saling jumpa. Ada kegairahan sekaligus tantangan.
Kegairahan (boleh dibaca: kegilaan) ini diinisiasi Kompasianer Widz Stoops dan Komunitas Secangkir Kopi Bersama, yang sebagian besar adalah penulis-penulis di Kompasiana. Turut juga meramaikan penulis dari luar.
Tapi, bagaimana mewujudkannya?
Nama-nama tokohnya bisa Segara, Craen Mark, Flora, atau siapa saja. Setting pun dapat ditulis Paris, Hamburg, maupun desa kecil Turatea. Juga alur cerita, bagaimana cara mengurai jalinan dendam.
Bicara dendam, sudah tak terhitung cerita yang ditulis para pengarang dahulu. Dari cerita western ala cowboy, silat, ataupun cerita-cerita horor, detektif, dan sebagainya. Tapi itu semuanya ditulis oleh satu pengarang. Sedang novel Kapak Algojo dan Perawan Vestal ini dikerjakan oleh 33 penulis, dengan membawa gaya tulisannya masing-masing.
Novel ini semacam cerita berbingkai. Tiap-tiap bingkai seperti berdiri sendiri. Tapi sebenarnya tetap terhubung dengan bingkai-bingkai cerita lainnya. Oleh sebab itu, tiap-tiap bingkai, tanpa sadar, menonjolkan ke-"aku"-an penulisnya. Kadang cerita terlalu melebar. Penghilangan dan penambahan tokoh yang kurang pas. Ataupun plot yang dipaksakan.
Di situ letak keunikannya. Setiap penulis bebas meluapkan idenya. Tapi tetap ada "jalan lurus" sebagai panduannya: Dendam, tokoh Segara, Craen Mark. Jangan lupakan Turatea, dari sanalah api mulai menyala.
Saya dapat membayangkan, bagaimana "jungkir-baliknya" Khrisna Pabichara menyelaraskan antarbab hingga menutup novel. Menjaga cerita tetap dalam satu jalinan tanpa meluruhkan gaya "aku" dari masing-masing penulis. Tentu tak dapat dihindari, Daeng Khrisna sebagai penyelaras akhir, menambah atau mengurangi beberapa kalimat (bahkan paragraf).
Novel ini sudah terbit. Saya merasa bangga karena nama saya ikut tercatat dalam daftar penulis. Ini pengalaman yang sulit dilupakan, bagaimana adrenalin kita terpacu untuk menyinkronkan cerita yang kita tulis dengan apa yang ditulis kawan-kawan penulis lainnya.
Awalnya saya agak kerepotan, tersebab tokoh Craen Mark diceritakan dengan latar belakang Jerman. Saya minta bantuan Kompasianer Hennie Triana yang memang tinggal di sana. Hennie Triana memberi tahu nama-nama tempat di Jerman, nama orang Jerman, juga beberapa istilah dari bahasa Jerman (terima kasih, Hennie).
Pada bab yang saya tulis (Bab 16), saya menceritakan petualangan Craen Mark bersama anak asuhnya, Mike Schulz , di Hamburg. Di akhir bab saya menyeret plot dengan setting Indonesia.
Selain itu, menurut saya, novel ini sangat filmis. Bagian-bagian adegan, alur cerita, juga deskripsi latar sangat memesona bila dialihkan dalam bahasa gambar. Saya membayangkan, hmm, Quentin Tarantino (saya terkesan dengan film Pulp Fiction; gaya bertutur dengan bingkai-bingkai cerita). Kalau di Indonesia, mungkin, Joko Anwar. Menghayal tidak dilarang, bukan?
***
Lebakwana, Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H