Saya pun tidak berkeinginan untuk bertemu dengan teman-teman masa kecil saya. Lagi pula sebagian mungkin sudah meninggal. Atau tengah berbaring didera penyakit yang menahun. Atau, atau tak penting juga mendengar cerita mereka.
Mudahnya transportasi, lancarnya komunikasi, dan mobilitas manusia yang riuh, membuat Pringsewu dan kota-kota lain di Lampung seperti "bersebelahan dinding" dengan Jakarta. Pusat perbelanjaan, jenama-jenama kuliner terkenal yang ada di Jakarta ada juga di sini.
Pemerintah daerah, ingin kotanya disebut maju, seperti berlomba-lomba menciptakan "jakarta-jakarta mini" di daerahnya. Sayangnya, kesemrawutan lalu lintas dan kriminalitas turut disalin.
Ini. Di sinilah kampung tempat kelahiran saya. Saya merasakan kehilangan.
Cuma tiga hari saya di Pringsewu. Kamis pagi berangkat lagi untuk pulang. Kembali menyusuri jalan tol. Di dalam kendaraan kami lebih banyak diam. Sunyi. Memang masih terbawa kehangatan perbincangan saat Idulfitri, ketupat, kue-kue. Tetap berhati-hati saat memakan makanan yang cukup keras. Gigi yang sudah banyak tanggal, 'gemetar' ditampuknya karena sudah lama dipakai.
Apa lagi yang harus saya ceritakan? Cinta monyet? Ah, malu ditertawakan cucu.
***
Lebakwana, April 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H