Kami -- saya, istri, anak, menantu, dan seorang cucu -- memesan tiket untuk keberangkatan pada Minggu malam (7 April), tapi ternyata tiket habis. Akhirnya mendapat tiket keberangkatan tanggal 9 April (pk. 00.00). Namun kami nekat berspekulasi mempercepat keberangkatan pada hari Senin sesudah Dzuhur (8 April).
Ndhilalah, lancar jaya. Kami bisa langsung masuk halaman parkir Pelabuhan Merak. Menunggu tak berapa lama kami sudah masuk kapal. Sekitar dua jam kapal sudah mendekati perairan Pelabuhan Bakauheni. Tapi kapal tetap terapung-apung hingga dua jam lagi, menunggu antrean dengan kapal lain untuk sandar di pelabuhan.
Keluar dari pelabuhan kami menyusuri jalan tol. Keluar di Pintu Tol Kota Baru. Sekitar jam 21.00 kami tiba di Pringsewu.
Sempat menjalani puasa pada hari akhir Ramadan. Pada hari Rabu kami sekeluarga melakukan salat Idulfitri di halaman Pendopo Kecamatan Pringsewu.
Selesai salat ied, seperti biasa layaknya suasana lebaran, kami pun bermaaf-maafan kepada sanak-saudara.
Saling tukar cerita. Dan cerita sesama lansia bukan lagi cerita tentang kesuksesan di rantau. Cerita soal menantu, tentu. Cerita tentang cucu, pasti.
Cerita lansia adalah cerita tentang sudah berapa penyakit yang menyapa tubuh. Asam lambung, darah tinggi, diabetes, asam urat, jantung, katarak. Batuk, pilek, gatal-gatal, persendian ngilu, sering lupa menaruh sesuatu, tidak masuk hitungan. Akhir cerita dibumbui dengan tertawa.
Dan Kota Pringsewu. Saya melihat kota kelahiran saya ini seperti menjadi tempat yang asing. Saya tidak melihat lagi halaman-halaman rumah tempat saya dulu bermain kelereng. Bermain bola menggunakan bola dari kertas dan plastik-plastik yang digulung. Bermain tembak-tembakan dengan senapan kayu. Rumah-rumah kini halamannya dibatasi dengan pagar-pagar. Seperti rumah di kota-kota.
Kali tempat saya mandi-mandi dulu sudah kering. Bau!