Menginjak bangku SMP saya pindah ke Jakarta. Jelajah baca saya semakin luas. Saya menikmati cerita silat Kho Ping Ho. Mempunyai ilmu ginkang (meringankan tubuh) dan menjadi Suma Han, pendekar super sakti dari Pulau Es.
Dan mulai membaca novel percintaan.
Detak jantung saya lebih cepat berpacu mengikuti petualangan tante-tante girang, novel trilogi -- Rendezvous, Mathilda, Juke Tamomoan; urutannya saya lupa -- karangan Motinggo Busye. Tak lupa Ashadi Siregar, Marga T, Mira W, dan Eddy D Iskandar. Tentu, Arswendo Atmowiloto.
Pun, saya membaca majalah remaja semacam Hai, Gadis, dan Anita Cemerlang.
Tapi saya belum terpikirkan untuk mengarang. Sampai suatu ketika terbit serial Lupus, karangan Hilman Hariwijaya. Serial itu amat disukai para remaja. Saya termasuk di dalamnya.
Setelah membaca, "Ah, kalau cuma gini gua bisa juga bisa mengarang." Saya ngesok.
Saya pun meminjam mesin tik tetangga. Mencoba mengarang cerpen, dan saya kirimkan ke Harian Pos Kota. Dan dimuat!
Saya takjub dengan diri saya sendiri. Bolak-balik melihat, seperti tak yakin, dan memang ada nama saya tertulis sebagai pengarangnya. Kemudian saya mencoba-coba mengirim cerpen ke Majalah Anita Cemerlang. Waktu itu Anita Cemerlang sedang mengadakan lomba mengarang cerpen. Saya memang tidak memenangkan lomba, tapi cerpen saya layak muat.
Saya makin semangat. Cerpen saya sering dimuat di Majalah Anita Cemerlang. Pernah juga menjadi salah satu pemenang saat Anita Cemerlang mengadakan lomba mengarang novellet.
Seiring berjalannya waktu semangat saya dalam mengarang mulai kendor. Terlebih setelah berkeluarga, dan pindah ke Cilegon. Pahitnya dalam pencarian hidup, saya melupakan tentang manisnya jadi pengarang. Apalagi setelah mempunyai anak, hingga mereka remaja. Hingga suatu ketika bertemulah saya dengan Kompasiana.
Kompasiana memantik ingatan saya, bahwa pernah pada suatu masa saya bisa menulis. Dengan dibantu anak saya untuk pembuatan password dan segala macamnya, saya pun mulai menulis. Entah kenapa saya lebih banyak menulis puisi dibanding cerpen.