Ketika ingin berbicara tapi tak tahu bagaimana harus berucap. Saat rahasia-rahasia ingin diungkap, tapi malu ada yang tersingkap. Waktu rindu hanya menemui ruang yang semu. Ketika kemarahan, cinta, benci, luka, air mata, dan banyak lainnya, tak tahu ke mana akan dialirkan, di situlah akan banyak lahir puisi.
Tapi kenapa harus puisi?
Karena puisi ditulis lebih mewakili pribadi. Kita dapat bersembunyi lewat kata-kata yang terang, atau menampilkan apa adanya melalui diksi-diksi yang kelam. Bisa ditulis sekenanya, atau melalui pengendapan yang lama. Bisa dengan kata-kata lugas, atau menggunakan majas.
Puisi bisa merekam dan mengabarkan peristiwa. Lewat media cetak atau - kini - media online. Puisi dapat melihat sepi di tengah keriuhan. Ia juga bisa membaca tepuk tangan di tengah kesedihan.
Bercerita tentang embun pagi atau kemarahan yang berapi. Menerjemahkan hujan dengan linangan air mata atau kegembiraan.
Menggeram di dinding kota: "Tuhan, kami lapar!"
Atau bersunyi-sunyi lewat buku diary.
Atau seperti Taufik Ismail, bercerita tentang tiga gadis kecil, datang ke Salemba, turut berduka, untuk kakak yang tertembak siang tadi (puisi Karangan Bunga).
Bisa juga menjadi WS Rendra: "... Karena kami diancam/ dan kamu memaksakan kekuasaan/ maka kami bilang tidak kepadamu ...." (Sajak Orang Kepanasan).
Dan Joko Pinurbo, melihat kaleng Khong Guan bisa menjadi beberapa puisi. Ini salah satunya.
Rumah Khong Guan
Biskuit berterima kasih
kepada rengginang
yang telah ikut melestarikan
rumahnya yang merah:
kaleng Khong Guan.
(2019)
Dan Sutardji Calzoum Bachri bersimpuh, tentang ketidakberdayaan manusia. Betapa kecilnya di hadapan Tuhan.
Walau
walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah
***
Kompasianer Herry Mardianto pernah menulis, bahwa sastra hanya menjadi warga negara kelas dua. Puisi, yang juga bagian sastra tak tahulah masuk urutan keberapa.
Di sekolah pun pengajaran sastra hanya bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia. Itu juga lebih sering membahas judul-judul buku dan nama pengarangnya.
Di media cetak, kalau ada pengurangan halaman, yang terimbas pertama kali adalah rubrik sastra. Dan kalau boleh memilih -- cerpen atau puisi -- maka rubrik puisi yang akan dihilangkan.
Di Kompasiana sendiri, yang halamannya "tak terbatas", ada kanal Fiksiana. Di dalamnya ada cerbung, cerpen, horor, roman (semuanya prosa), dan (satu) puisi. Pemilahan yang membagongkan. Cerbung, cerpen, horor, roman, semuanya juga berbentuk cerpen. Hehehe.
***
Puisi sepertinya tak penting-penting amat. Boleh ada, takada pun dunia tetap baik-baik saja. Tapi anehnya puisi yang sering dicurigai kekuasaan.
Dulu WS Rendra setiap akan mengadakan pembacaan puisi harus ada izin dari Kopkamtib (lembaga pemerintah zaman Orde Baru paling ditakuti).
Pun Wiji Thukul. Gara-gara puisinya, ia dihilangkan. Kalaupun meninggal nisan sebagai penanda pun takada.
Namun, puisi akan terus lahir. Tak apa mengulang-ulang senja dan cinta. Melukiskan hujan atau kenangan. Pun berkali-kali menulis kopi. Walau sepi dari tepuk sorak. Meski takada limpahan materi. Walau hanya dibaca sendiri.
Masih ingin menulis puisi?
***
Lebakwana, September 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H