Tiba-tiba saja ingatanku terlempar jauh. Tersebab pagi tadi kau mengirimkan foto lewat WA. Itu foto tempat kos kita dahulu saat kuliah di Yogya.Â
Pemilik kosnya sudah berganti, lanjutmu. Â Kulihat juga, dalam foto itu, beberapa bagian dan warna catnya sudah diganti.Â
Aku tersenyum sendiri.
Yogyakarta adalah kota seribu kenangan. Ada seribu cerita di dalamnya. Rindu dan cinta, entah mana yang lebih mendominasi. Atau mungkin itu dua kata yang selalu beriringan. Dan menjadi indah, karena sesekali terselip juga patah hati.
Dan warna-warna yang lain.
Kegaduhan. Kegaduhan yang indah, itu karena kita mengenangnya hari ini. Dari ketidaknyamanan antarpenghuni kos hingga kiriman uang dari orang tua yang telat. Kita berhemat-hemat yang sebenarnya tidak ada lagi bisa dihemat. Dan mi instan adalah dewa penyelamat saat keuangan makin menipis.
Warung dekat tempat kos kita, harus pula kita masukkan dalam kenangan. Pemilik warung, dengan keramahan yang terpaksa mau juga rokoknya kita hutangi. Nanti setelah datang kiriman uang dari orang tua baru kita lunasi (hayo ngaku, kamu nggak ada lagi kan sisa hutang di warung itu?).
Setiap pagi kita diiringi kabut sepanjang Jakal -- akronim Jalan Kaliurang -- menuju kampus kita. Suasana kampus yang awalnya menyenangkan, lama-kelamaan menjadi horor. Dikejar deadline untuk menyelesaikan skripsi. Coba, apa dosa kita hingga skripsi bolak-balik harus direvisi? Hahaha!
Ingat Keliek, anak Magelang itu? Dia sering jengkel karena kita sering merisaknya. Berawal dari keheranannya, kenapa orang-orang masih menyangka bahwa Candi Borobudur berada di wilayah Yogyakarta. Padahal dia berada di Magelang, Jawa Tengah.
Keliek mengakui, penataan pariwisata di Yogyakarta lebih rapi. Dan makin terbantu Yogya dikenal juga sebagai kota pelajar. Hingga menjadi titik kumpul untuk segala aspek. Jadi tak heran para wisatawan bila ingin ke Prambanan, Borobudur, bahkan hingga ke Dieng, titik berangkatnya dari Yogya. Bukan dari Semarang, ibu kota Jawa Tengah.Â