Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Membayangkan Banyak Perjalanan

28 April 2023   04:32 Diperbarui: 28 April 2023   04:39 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup kadang terlalu singkat, hanya sejarak kenangan. Sesekali singgah, merupa hujan pada bola mata. Atau menarik bibir untuk tersenyum. Atau gelak tawa

Dan tanah kelahiran. Menyusuri jalan-jalan ingatan. Ayah, Emak, mengajari soal cinta. Juga bersiasat bagaimana menghadapi luka

Ayah yang terlalu cepat pergi. Emak yang mengambil kayuh kemudi. Aku, kami, waktu itu belum mengerti. Emak mengganti cara menafsirkan cinta: sembunyikan bunyi lambung, dan rahasiakan di mana air mata ditampung

Kenangan sekelebat luka

Lalu Emak membawa kami
Mencoba menaklukkan Jakarta
Tapi kota ini terlalu panas
Dalam semalam mimpi Emak terbakar
Untunglah kami sudah terlatih
Bagaimana cara mentertawakan air mata

Emak pulang, aku bertahan

Aku menjadi anak nasib
Di tanah rantau aku belajar
Bagaimana menghadapi gelombang
Juga menghindari batu karang
Namun
Kapalku acap kali tenggelam
Ketakmengertian
Tak apa juga bila disebut kebodohan

Baca juga: Seberapa Banyak

Pernah juga ikut tes Fakultas Kedokteran
Mengangkat harga diri keluarga
juga cara cepat menjadi kaya
Tubuh terlalu lelah
Selalu dipandang sebelah mata
Tapi itu menjadi jenaka
Karena aku tak punya biaya apa-apa

Cinta lagi. Jatuh lagi
Luka
Sepi
Dan perjalanan tak boleh berhenti

Jakarta sebuah metropolitan yang
terletak di perempatan jalan
dengan tanda-tanda: hijau, kuning, dan
merah
selanjutnya belajarlah untuk
tak peduli
sedang air liurku terletak pada roti
berisi mocca
sisa tikus semalam pesta

Aku sulit mengungkap dengan lisan
maka aku memindahkan lidahku
dalam bentuk tulisan
cerita-cerita, puisi
ada namaku di koran, majalah
tapi, kau tahu harga sebuah puisi?

Aku tidak tahu
bersyukur atau gelisah
lahir sebagai lelaki Minang
dan pertanyaan kepada lelaki Minang
: "Aa galeh kini -- dagang apa sekarang?"
aku menerjemahkan: uangmu sudah
berapa banyak?

Aku cuma lelaki yang bisa sedikit
menulis

Cinta terus tumbuh
Pada bedeng ukuran 3x3
Juga di atas jembatan penyeberangan
: Ada peniti, kamper, sisir; dan aku terus
meniup-niup cinta agar tetap menyala
Ada juga matahari
Orang membeli dengan rasa kasihan
(ah, terima kasih Jakarta)

Lalu aku membawa cinta
ke tanah jawara
rantau sudah bertukar
tapi nasib masih berupa kabar-kabar
Untung aku masih ingat
pelajaran dari Jakarta
jadi rinduku tak lagi ngilu
saat orang memandangku
mengangkat dagu

Tapi negara masih mengingatku
seumur hidup pada selembar kartu
enam puluh, katanya
walau sebenarnya ada 59
Cinta, itu sisa yang kupunya
Kepada diriku: Selamat

***

Lebakwana, 28 April 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun