"Ada masalah keluarga yang akan dibicarakan." Itu pesan Mbak Lis lewat WA pagi tadi.Â
Masalah keluarga? Huh! Aku tahu. Tentu ini masalah Awang. Aku yakin nanti aku akan 'disidang' di tengah keluarga besarku. Kenapa mereka -- tepatnya Ibu -- selalu mencampuri urusan keluargaku? Kalau saja Bapak masih hidup tentu ia akan membelaku, walaupun aku tahu suara Bapak takkan menang.Â
***
Awang. Mm, apa, ya?Â
Yang aku ingat, dulu keluarga Awang adalah termasuk keluarga terkaya di kampung kami. Orang tuanya pedagang beras yang cukup besar. Juga memiliki beberapa mobil angkot. Awang sendiri adalah teman sepermainanku waktu kecil. Aku menilai waktu itu Awang adalah anak yang manja. Apa karena dia anak tunggal?Â
Makanya aku menolak keras ketika akan dijodohkan dengan Awang. Apa yang dilakukan lelaki yang selalu tergantung dengan orang tuanya? Tidak!Â
Namun, Ibu tidak bisa dibantah (dia orang kaya, hidupmu tidak akan sengsara, kamu tinggal duduk manis di rumah, kamu bla bla bla ...!).Â
Aku bergeming.Â
Ibu pingsan. Sakit.Â
Aku tak dapat mengelak lagi.
***
Sedang Awang, Awang sendiri tak pula hendak memaksakan kehendak orang tuanya.
"Aku tahu diri," katanya, saat kami bertemu empat mata. "Sekarang umurku 32. Dan aku, kamu tahu sendiri, aku tak pandai bergaul. Konyol sekali kalau aku menolaknya. Selain itu ... aku memang suka dengan kamu," Awang berkata lirih. Ia tak berani menatapku.
Hening sejenak. Perasaanku campur-aduk.
"Kamu, kalau kamu tak bersedia ..., mungkin, mungkin agak berat bagimu melawan orang tuamu. Terutama kepada ibumu."
Hening lagi.
"Ada satu cara. Perjodohan ini bisa dibatalkan lewat keluargaku. Biar nanti kucarikan alasan kepada orang tuaku. Walaupun, itu ... menyakitkan hatiku." Awang menatapku.
Kini giliranku yang tak berani membalas tatapan Awang.
***
Dan akhirnya aku mau menikah dengan Awang. Demi Ibu.
Awang, ah, dia lelaki yang baik. Ia selalu berusaha memanjakanku, meskipun ia tahu aku tak mencintainya. Tampak sekali ia ingin menunjukkan rasa cintanya kepadaku. Aku sendiri, semampuku, melayaninya sebagai seorang istri.
Kemudian lahir anak kami. Satu. Dua. Dan kini anak kami sudah tiga.
Dan datanglah bencana itu (bencana adalah istilah Ibu). Berawal dari kematian kedua orang tua Awang. Awang tak cukup pandai meneruskan usaha orang tuanya.
Rasanya begitu cepat sekali. Kami bangkrut. Untunglah rumah tidak sampai terjual.
Dan Awang, aku tak menduganya sama sekali. Ia langsung banting setir. Kini ngojek online. Tanpa risih atau malu. "Kenapa harus malu?" Awang balik bertanya.
Tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Aku berinisiatif berjualan nasi uduk dan segala macam gorengan di depan rumah.
Ibu, rasanya aku ingin marah sekali. Perlakuan Ibu dan saudara-saudaraku kepada Awang langsung berubah. Ibu
Seperti melecehkan. "Tukang ojek?" sinis Ibu.
Ibu selalu masam kepada Awang, setiap kami mengunjunginya. Terkadang ada kata-kata yang tak pantas diucapkannya. Awang tak memberi reaksi yang berlebihan. Di rumah pun ia tak pernah membahas perubahan sikap Ibu.
Aku saja yang tak enak hati. Aku sering memintakan maaf kepada Awang atas perlakuan Ibu.
Awang hanya tersenyum tipis. "Lupakan." Hanya itu yang dikatakan Awang.
Dan pagi tadi ada pesan we-a dari Mbak Lis.
***
Kini aku di ruang keluarga. Dikelilingi Ibu, Mbak Lis, Mbak Menik, Mas Agung. Aku diceramahi habis-habisan.
"Ngojek? Bikin malu keluarga besar kita saja. Dan kamu, Ken, kamu kan sarjana? Masak jualan nasi uduk?" suara Mbak Lis.
"Apa salahnya? Dan Mas Awang, itu tandanya ia bertanggung jawab. Lebih penting lagi, ia amat mencintai anak-anak," bantahku.
"Tapi kan kamu tidak mencintainya?"
"Kenapa itu dibahas sekarang?" Aku mulai emosi. "Bukankah kalian dulu yang memaksaku menikah dengan Awang? Karena dia anak orang kaya? Dan sekarang, perlakuan Ibu, Mbak Lis, kalian semua berubah. Karena Awang jatuh miskin?" Suaraku mulai serak.
"Ken, jaga suaramu!" Mbak Lis memarahiku.
"Apa mau kalian sebenarnya?"
"Pak Darto ...," Ibu yang bersuara.
"Ada apa dengan Pak Darto?"
"Pak Darto," Mbak Lis mengambil alih pembicaraan, "minggu kemarin ia menemui Ibu. Walaupun ia duda kehidupannya sangat mapan. Tahu kan jalan tol lingkar itu? Perusahaannya yang mengerjakannya."
"Lantas?"
"Pak Darto bilang ke Ibu, bahwa ia menyukaimu. Ingat, anak-anakmu masih kecil. Ke depannya banyak membutuhkan biaya, dan ...."
"Gila! Bukankah aku saat ini masih istri Awang?" Tubuhku bergetar.
"Kamu bisa berpisah."
Aku langsung meledak. Bagiku, ini sudah sangat keterlaluan. Aku tak peduli lagi kata-kata yang terucap dari mulutku.Â
Dengan menahan tangis, tanpa permisi, aku langsung keluar dari rumah Ibu.
***
Dalam perjalanan pulang aku mencoba meredam gemuruh dadaku. Kuhubungi nomer Awang.
Agak lama. Kemudian ...!
"Ken Ayu ...? Maaf, tadi lagi dijalan, nganter penumpang."
Aku menggigit bibirku. Awang selalu memanggilku, Ken Ayu.
"Aku, aa ...."
"Ken, suaramu? Kamu ... menangis? Dimarahi Ibu lagi?"
"Mas, aku ... aku, maaf ...."
"Hahaha! Pasti kamu mau bilang salah pesan lagi. Sudah, sudah aku belikan tepung dua kilo. Minyak, satu liter 'kan?"
"Maaf, aku terlambat menyadari ...."
"Hahaha! Kamu memang selalu begitu."
"Bukan. Bukan itu." Aku terisak. Mungkin terdengar oleh Awang.
"Ken?"
"Mas Awang ...."
"Ya?"
"Aku ... cinta kamu!"
***
Lebakwana, Februari 2023
#bulankasihsayang
#saynotokdrt
#kpb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H