Pertama, malas membaca.
Ini dapat terbaca dari puisi yang mereka tulis. Ragam kosakata yang miskin, takada lompatan imajinasi. Padu-padan kata seadanya, sangat biasa. Padahal puisi tercipta karena sebelumnya kita sudah berenang di lautan imajinasi. Dan lautan imajinasi bisa terkumpul, itu karena kita banyak membaca.
Dengan membaca kita dapat menemukan kosakata yang baru. Bukan berarti diksi-diksi yang aneh, tapi kata yang sebenarnya merupakan kata yang umum. Dengan kepiawaian sang penulis, dipadukan dengan kata yang lain akan terbentuk frasa yang menarik.
Rindu, cinta, hujan, kopi, senja, malam, bulan, matahari, doa, Tuhan, ibu, air mata, dan ... (tambahkan sendiri), itu kata -kata yang umum. Puluhan tahun lalu para penyair sudah menulis diksi itu. Chairil Anwar, 80 tahun lalu, sudah menulis Senja di Pelabuhan Kecil.
Apakah kita akan menulis senja lagi?
Tidak masalah. Intinya jangan terlalu banyak pengulangan. Setidaknya kita membuat frasa yang mungkin tak terduga penulis lain.
Matahari akan tidur di peraduan, langit memerah di ufuk barat, langit jingga, itu frasa-frasa yang sering diungkap untuk menggantikan kata senja. Apa memang takada frasa lain? Saya rasa ada kalau kita mau membaca.
Juga rindu, cinta. Masih banyak kata lain untuk menggantikan kata itu.
Namun, kalau kita hanya membaca di bawah tempurung, puisi kita takkan pernah beranjak. Puisi yang pertama kali kita tulis sama saja dengan puisi yang ke-10.000. Gaya ucap dan pemilihan diksi yang itu-itu lagi.
***