Mengenai diriku, lelaki itu menggambarkan seperti ini: cantik, hidung mancung, kulit eksotis (tadinya dia akan menulis, berkulit putih, tapi kemudian meralatnya), dan misterius. Misterius? Aku digambarkan sebagai perempuan misterius?Â
Aku, masih cerita lelaki itu, hidup di jalanan setelah muak melihat kehidupan orang tuaku. Papaku sering berkencan dengan anak-anak SMA, sedang mamaku sama saja brengseknya. Sering membayar lelaki-lelaki muda untuk dijadikan gigolo.Â
Segala fasilitas memang dicukupi oleh kedua orang tuaku. Aku memberontak, aku lari ke jalanan (ah, klise ya, seperti novel remaja tahun 70-an).Â
Lelaki itu menceritakan diriku bergelandangan di pasar-pasar, terminal, yang menempa diriku menjadi gadis liar. Untuk bertahan hidup aku mulai melakukan tindakan kriminal: dari mencopet, mengutil barang-barang di minimarket, hingga mulai berani menodong. Tentu dengan kawan satu geng.
Aku harus punya kekasih, lanjut lelaki itu. Seseorang lelaki kurus, terobsesi menjadi pengarang terkenal (tapi novel-novel yang ditulisnya takpernah menjadi best seller), itu yang akan menjadi kekasihku.Â
Aku tersenyum. Bukankah itu gambaran tentang dirinya sendiri?Â
Lelaki pengarang itu -- seperti halnya diriku -- sudah muak dengan hidupnya sendiri. Novel-novel yang ditulisnya tak bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Nyaris frustrasi.Â
Aku suka. Lelaki kurus biasanya fantasi percintaannya cukup liar. Aku menunggu.Â
***
Baru kali ini saya menulis novel begitu lancar. Yakin, saya yakin, novel ini akan menjadi best seller. Sudah mencapai halaman 51, dalam waktu tiga hari. Ini tak biasa.Â