Nama Kompasiana mungkin pertama kali saya baca di Harian Kompas. Saya lupa dalam situasi pemberitaan apa waktu itu.
Awalnya saya kira ini semacam kumpulan para budayawan. Atau semacam kantong kegiatan pekerja seni. Atau, mungkin, seperti kelompok "lucu-lucuan".
Saya berpikir demikian karena saya melihat di Majalah Tempo ada rubrik bernama Indonesiana. Rubrik ini berisi artikel-artikel ringan tentang peristiwa-peristiwa aneh, unik, kadang ada unsur jenakanya. Kompasiana, saya beranggapan seperti itu.
Saat membaca sebuah artikel, saya "tersesat" ke Kompasiana. Tanpa sadar saya lebih jauh masuk ke dalam, membaca artikel-artikel yang lain.
O, jadi ini yang disebut Kompasiana. Sebuah blog yang menampung tulisan-tulisan, bermacam kategori, dari berbagai profesi. Jurnalisme warga.
Dan rubrik Fiksiana. Saya tertarik, karena saya memang penyuka cerpen dan puisi. Dengan bantuan anak saya, saya membuat akun di Kompasiana.
"Tiga Bicara Hujan", itu adalah puisi saya yang pertama tayang. Tertanggal 6 April 2019, pk. 19.07. Kelak judul puisi ini juga menjadi judul sampul buku antologi puisi saya.
Selanjutnya, saya rasa hampir sama dengan pengalaman penulis lain saat pertama kali berinteraksi di Kompasiana. Menunggu. Lalu memberi vote, saling balas komentar, dan mulai mengenal karakter tulisan para kontributor.
Kemudian saya juga tahu ada juga penulis yang sudah lama malang-melintang di media cetak. Prayitno Ramelan, salah satunya; seorang pengamat intelijen. Ada "temannya James Bond" mau menulis di Kompasiana, berarti blog ini bukan blog kaleng-kaleng.
Selama perjalanan di Kompasiana kemudian saya banyak mengenal para Kompasianer -- sebutan untuk penulis di Kompasiana. Walaupun sebatas di dunia maya.
Banyak yang datang, tak sedikit pula yang menghilang. Dengan berbagai alasan, atau tanpa alasan.
Menulis, gembira-gembira, bosan, lalu menulis lagi. Kemudian bosan lagi. Itu selalu dialami para Kompasianer.
Menariknya lagi adalah saat masuk grup WA, yang anggotanya para penulis di Kompasiana. Tadinya sebatas kenal kini semakin akrab. Makin takjub karena mereka tersebar di berbagai kota, lintas provinsi, menyebrangi pulau, bahkan yang diaspora.
Bertanya kabar, berbagi cerita maupun tulisan. Saling mengucapkan selamat bahagia bila ada yang berulang tahun, atau ada anggota keluarga yang menikah. Turut berempati saat ada anggota grup (atau keluarga mereka) mengalami musibah.
Grup-grup WA seperti inilah yang sebenarnya pengikat agar bisa terus menulis di Kompasiana. Sayangnya grup-grup semacam ini kurang diberdayakan oleh Kompasiana.
Padahal ada salah satu Admin Kompasiana yang menjadi anggota. Saya tidak tahu fungsi mereka apa. Bahkan bila ada Kompasianer yang komplain jarang -- bahkan tak pernah  -- ditanggapi.
Dan tak terasa saya lebih tiga tahun menulis di Kompasiana. Pasang-surut, turun-naik, dalam menjalaninya. Masih sedikit artikel yang bisa saya tulis.
Menulis, juga hobi-hobi yang lain, laksana meledakkan cinta dari ruang kepala. Dan sumbu penyulut ledaknya adalah seribu, beribu-ribu rindu.
Dan agar cinta terus menyala dia harus selalu dihangatkan oleh rengkuhan sapa, tepuk bahu, dan -sesekali rasa kesal perlu dimunculkan. Lebih penting lagi, harus selalu belajar.
Oh, ya, ini rindu saya yang ke-451.
***
Lebakwana, Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H