Ini mengenai puisi.
Bagaimana membaca, menyelami, Â juga menafsirkan kedalaman diksi-diksi yang ditulis para penyair. Saya hanya ingin memposisikan sebagai penikmat puisi. Karena saya menyadari, bagaimana cara menulis puisi yang baik masih terbata-bata.
Pertama, titik tiga.
Saya lihat pada puisi-puisi yang ditulis penyair pemula. Tak jarang dilakukan juga oleh yang terbiasa menulis puisi. Yang saya maksud adalah meletakkan titik tiga (elipsis) di akhir larik puisi. Bahkan ada puisi di akhir lariknya selalu ada titik tiga (...).
Misal:
Senja telah lesap ...
Impian pun padam menggelap ...
Apa maksudnya?
Diberi titik tiga atau tidak, akan sama saja artinya. Kalau dalam cerpen atau novel memang pengarang sering menggunakan elipsis itu. Biasanya dalam dialog, untuk menandakan kalimat itu  menggantung, ada kata yang "hilang".               Â
Untuk puisi saya rasa tak perlu. Biar pembaca saja yang menginterpretasikan sesuai imajinasi yang ia pahami. Perlu diingat, puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang bebas. Ia sering  tak terikat aturan-aturan bahasa.Â
Makanya pada puisi-puisi terkini tak ditemukan tanda berhenti (titik) di akhir kalimat. Bahkan ada puisi tak menyematkan tanda tanya (?) atau tanda seru (!), meskipun kalimatnya  mengisyaratkan tanya atau sebuah kalimat perintah.
Ada juga tak menggunakan tanda penghubung untuk kata ulang. Seperti kata "orang-orang", hanya ditulis orangorang. Atau dalam puisinya tak menggunakan huruf kapital di awal kalimat. Semuanya menggunakan huruf kecil.
Untuk puisi itu sah-sah saja. Penyair mempunyai "kengesokan" apa yang disebut lisensi puitik. Walaupun begitu, sebaiknya sebuah puisi tak berkata-kata aneh atau menganehkan kata-kata.
***
Hal kedua, netra.
Saya tidak tahu mengapa ada penyair lebih suka menggunakan diksi netra untuk menggantikan kata mata. Kalau netra cuma mempunyai satu arti: mata! Alat untuk melihat. Sedang mata bisa ditafsirkan sangat luas. Bukan sekadar alat penglihatan saja.
Coba baca contoh-contoh berikut: mata air, air mata, mata kaki, mata batin, mata-mata, bola mata, bulu mata, mata pisau, mata keranjang, mata duitan, mata uang, dan sebagainya.
Bagaimana kalau kata "mata" di atas diganti dengan kata "netra"? Nganu, kan? Menurut saya lebih puitis kata mata dibanding netra.
Bukan pada puisi saja, tapi ada juga pada cerpen. Coba rasakan kalau pada cerpen ada kalimat, "Saat netranya menatap, dadaku berdebar-debar."
Kayaknya maksa banget. Karena ini ungkapan yang tidak umum.
Saya menduga ini ada semacam saran pada grup-grup penulisan, agar menulis diksi-diksi yang tak biasa. Juga dalam menulis puisi sebaiknya jangan ada pengulangan kata pada baris atau bait berikutnya. Diganti padanan kata yang searti. Kecuali memang kalau kita ingin menulis sajak repetitif.
Bagaimana kalau ini semacam lisensi puitik dari sang penyair? Ya, tidak apa-apa. Tapi kalau mata diganti netra, "rasa" puisinya kok terasa kering. Mudah-mudahan ini anggapan saya saja.
***
Lalu, petrikor
Ini sering terlihat pada judul. Tak jarang terbaca juga di tubuh puisi. Petrikor sendiri berarti suasana (atau aroma) tanah kering sehabis ditimpa hujan.
Memang terdengar unik, ada semacam unsur magis. Namun, yang sering adalah sekadar gaya-gayaan saja, agar puisinya terlihat beda. Tak tersirat pesan pada tubuh puisi, hubungan apa petrikor dengan diksi-diksi berikutnya.
Jadi ada semacam pengaruh ikut-ikutan. Satu menulis petrikor, yang lain tak ingin ketinggalan.
Tapi apa salah menggunakan titik tiga, netra, atau petrikor?
Ini bukan soal salah atau benar. Tidak sama seperti kita menilai hitungan matematika. Dalam puisi dinilai rasa keindahan. Keindahan pemilihan kata, permainan bunyi, menggunakan metafora, juga bagaimana cara kita menyampaikan pesan yang menyentuh hati.
Bagaimana kalau ingin tetap menggunakan juga? Tidak apa-apa juga. Ini hanya soal rasa dan selera.
Yuk, sama-sama belajar.
***
Lebakwana, Juli 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H