Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi: Sawah Bapak dan Pesulap dari Kota

11 Juni 2021   10:28 Diperbarui: 11 Juni 2021   22:00 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sawah kering. Sumber: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Rasanya belum kering keringat Bapak pada sawah yang cuma sepetak, mengalir pada buku-buku sekolahku, beriringan dengan gemetar doa Ibu.

Dan langkah kakiku diikuti tatap penuh harap

"Bawa lampu-lampu ke sini. Rumah kita terlalu lama diliputi kegelapan," kata Bapak pada suatu percakapan yang letih 

Kuselipkan keringat Bapak pada lipatan buku. Juga kubawa bau lumpur, harum rumpun padi, dan kulit Bapak yang menghitam karena matahari, agar kami tak lagi mengalami musim-musim gugur 

Namun, kini sawah Bapak pecah sebelum aku memegang ijazah. Bapak bergeming untuk berkata tidak untuk tawaran harga tanah yang dibayar murah 

"Kami adalah pesulap", kata sesuara. "Kampung ini dalam sekejap akan menjadi kota."

Dan kota ternyata berwujud angkara. Mengelilingi sawah Bapak dengan tembok-tembok penuh jemawa. 

Sawah kering, air tak lagi mengalir. Dibendung berkumpul di bola mata Bapak 

***

Lebakwana, Juni 2021 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun