Rasanya belum kering keringat Bapak pada sawah yang cuma sepetak, mengalir pada buku-buku sekolahku, beriringan dengan gemetar doa Ibu.
Dan langkah kakiku diikuti tatap penuh harap
"Bawa lampu-lampu ke sini. Rumah kita terlalu lama diliputi kegelapan," kata Bapak pada suatu percakapan yang letihÂ
Kuselipkan keringat Bapak pada lipatan buku. Juga kubawa bau lumpur, harum rumpun padi, dan kulit Bapak yang menghitam karena matahari, agar kami tak lagi mengalami musim-musim gugurÂ
Namun, kini sawah Bapak pecah sebelum aku memegang ijazah. Bapak bergeming untuk berkata tidak untuk tawaran harga tanah yang dibayar murahÂ
"Kami adalah pesulap", kata sesuara. "Kampung ini dalam sekejap akan menjadi kota."
Dan kota ternyata berwujud angkara. Mengelilingi sawah Bapak dengan tembok-tembok penuh jemawa.Â
Sawah kering, air tak lagi mengalir. Dibendung berkumpul di bola mata BapakÂ
***
Lebakwana, Juni 2021Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H