Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Risalah Puisi

12 April 2021   10:18 Diperbarui: 12 April 2021   10:32 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudian puisi, takmungkin meninggalkan kata. Pada makna yang telanjang, atau berupa bayang-bayang. Beterbangan ke antero tepi bumi, langit, dan di antaranya. Geliat jasad renik dan yang meraksasa. Berpacu di padang sabana, menyelam ke luas samudra, juga berkoloni menghitam bergerak di angkasa. Daun, rumput, bunga-bunga. Ombak di segelas air, serta membadai menjadi bah menggulung kota. Kendara, lampu-lampu, teknologi, desa, kota, ramah dan marah. Hitam, putih, biru, dan ngilu. Tangis bayi, mata bocah, mata yang merah, geraham yang gemeretuk. Cinta, benci, rindu yang amuk

Dan lainnya, dan lebih banyak lagi, takmungkin terbaca semuanya 

Puisi berusaha memeluknya. Sebisanya

***

Lebakwana, April 2021 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun