Yang bisa kulakukan hanya menunggu, seperti dulu, di dangau pinggiran sawah. Lumpur, aroma segar dari rerumputan, juga gaung suara sampai ke bawah bukit. Menghoyak burung-burung melalui rentangan tali-temali, yang kita gantungi kaleng, kain perca, plastik-plastik.Â
Saat itu, padi-padi sedang menguning.Â
Namun, kini lihatlah, kampung terasa sunyi. Orang-orang, terutama yang muda, menyerbu kota-kota. Di desa terasa gelap untuk sekadar berharap.Â
Dan kota menawarkan impian. Nanti saja dihitung, apakah tercapai apa yang diharapkan, atau malah terperangkap dalam labirin, dan sulit untuk keluar.Â
Kamu salah satunya. Bersama Ning, Sri, Yanti; tak ketinggalan Gandung, Yanto, Bambang. Kawan-kawan sepermainan, dari SD hingga tamat SMK.Â
Aku, aku takmungkin meninggalkan Emak dan tiga adikku. Ada sepetak sawah, sedikit tanah ladang peninggalan Bapak. Dari sanalah kami memperpanjang napas, untuk sehari-hari juga kebutuhan sekolah ketiga adikku.Â
Sesekali aku ada bertandang ke rumahmu, bertanya kabar tentang dirimu. Ibumu bercerita, kalau dirimu bekerja di pabrik.Â
Pada tahun pertama, saat lebaran, kamu dan lainnya pulang. Kita bersenda gurau, mengenang masa-masa sekolah dulu. Tapi entah kenapa aku merasa asing di tengah kalian. Kalian bercakap-cakap dengan diselingi bahasa anak-anak kota.Â
Setelah itu kampung kembali sepi, bertambah sepi. Anak-anak yang baru tamat sekolah ikut pula pergi ke kota. Aku tidak mengerti, apa yang diajarkan orang-orang kota kepada kalian. Karena tidak beberapa lama Sri pulang, membawa perutnya yang membesar.Â
Ibunya pingsan.Â
Gandung juga pulang, tapi hanya mayatnya. Ia tewas dikeroyok massa karena kedapatan mencuri motor. Sihir  kota membuat kawan-kawan begitu cepat berubah.Â
Pun dirimu. Rambutmu dipotong pendek, dan riasan wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aroma tubuh yang ganjil. Aku merasakan bau keringat banyak lelaki pada tubuhmu.Â
Dan cara tertawamu.Â
Dan rokok. Kamu merokok?Â
Dan dalam sebuah kesempatan kita kembali duduk berdua di dangau, memandang hamparan sawah. Kita lebih banyak diam. Duduk berdekatan, tapi kurasakan jarak kita semakin jauh.Â
Tiba-tiba kamu menangis.Â
"Maaf," katamu.Â
"Maaf soal apa?"
Kamu hanya menggeleng-gelengkan kepala, tak menjawab. Itulah terakhir aku melihat dirimu. Sedang ibumu seperti menghindar dengan pertanyaanku. Hanya selentingan kudengar kamu sudah mempunyai anak, tanpa ketahuan siapa bapaknya.Â
***
Kini aku sedang duduk di dangau. Menjaga hamparan sawah yang sedang menguning dari serbuan burung-burung. Menghentak-hentakkan rentangan tali, yang digantungi kaleng-kaleng, plastik-plastik, dan kain perca. Menimbulkan bebunyian yang ritmis. Kurasa gaungnya jauh sampai ke bawah bukit.Â
Tiba-tiba aku teringat dirimu.Â
***
Lebakwana, April 2021.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H