Gandung juga pulang, tapi hanya mayatnya. Ia tewas dikeroyok massa karena kedapatan mencuri motor. Sihir  kota membuat kawan-kawan begitu cepat berubah.Â
Pun dirimu. Rambutmu dipotong pendek, dan riasan wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aroma tubuh yang ganjil. Aku merasakan bau keringat banyak lelaki pada tubuhmu.Â
Dan cara tertawamu.Â
Dan rokok. Kamu merokok?Â
Dan dalam sebuah kesempatan kita kembali duduk berdua di dangau, memandang hamparan sawah. Kita lebih banyak diam. Duduk berdekatan, tapi kurasakan jarak kita semakin jauh.Â
Tiba-tiba kamu menangis.Â
"Maaf," katamu.Â
"Maaf soal apa?"
Kamu hanya menggeleng-gelengkan kepala, tak menjawab. Itulah terakhir aku melihat dirimu. Sedang ibumu seperti menghindar dengan pertanyaanku. Hanya selentingan kudengar kamu sudah mempunyai anak, tanpa ketahuan siapa bapaknya.Â
***
Kini aku sedang duduk di dangau. Menjaga hamparan sawah yang sedang menguning dari serbuan burung-burung. Menghentak-hentakkan rentangan tali, yang digantungi kaleng-kaleng, plastik-plastik, dan kain perca. Menimbulkan bebunyian yang ritmis. Kurasa gaungnya jauh sampai ke bawah bukit.Â