Bagaimana membaca perjalanan yang riuh. Kita begitu lelah, karena jarak yang kita tempuh terasa semakin jauh. Kesunyian sering kita dapat. Orang-orang melihat kita dengan dagu yang terangkat. Dan kita tak peduli lagi, beda kebal dan bebalÂ
Bahkan kita sering lupa, sebenarnya kita pun mempunyai air mataÂ
Tapi untuk apa?Â
Bola mata kita sudah terbiasa melalui musim-musim yang kering. Sepertinya biasanya kita keluar masuk pada lima belas pintu. Dan pintu-pintu itu bukan milik kitaÂ
Di penghujung perjalanan ini seharusnya kita memasuki episode baru: minum teh di beranda, membaca buku, atau jalan-jalan sambil menggendong cucuÂ
Namun hidup kita belum selesai. Masih berputar-putar, bagaimana cara keluar dari pusaran badai. Sementara langkah semakin lamban, dan cerita-cerita makin sulit tertinggal dalam ingatan         Â
Dan takterasa angka-angka almanak terus berguguran, dari pekan hingga ke pekan. Entah sampai kapan kita mampu bertahanÂ
Kita berharap pada anak-anak kita. Dan kita tidak tahu, apakah sempat menyaksikanÂ
***
Lebakwana, November 2020Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H