anak panah," kata Emak di perbincangan malam. Bulan tertutup kabutÂ
"Buatlah KTP, kini saatnya kau menjadiAku pergi ke rumah Pak RT. Kataku, "Beri aku kata-kata. Kata Emak aku akan jadi anak panah."
Lalu aku ke Kantor Kelurahan, Kantor Kecamatan: difoto, dan ditanya nama
Aku anak panah, jawabkuÂ
Di rumah Emak mempersiapkan bekal untukku. Sebungkus nasi, doa, dan pelukan yang basah. Air mataÂ
Jejakilah tanah rantau, agar kau belajar arti umpama dan jikalau, menimbang ragu menakar bimbang, di mana berkata 'ya', ke mana pula harus menempatkan 'tidak', bertemu jalan simpang, bersua ombak yang bergelombangÂ
Tapi di jalan riuh dengan putus asaÂ
Gerbang-gerbang sekolah banyak menumpahkan ijazah, anak-anak panah majal kurang terasahÂ
Aku gamang. Tapi pantang surut sebelum melangkah. Sebagai anak panah aku berusaha melesat jauh, hingga kakiku membawa ke negeri entahÂ
Di pintu, Emak cemas menunggu, tak putus dengan doa-doa yang menderu
***
Kramatwatu, November 2020Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H