Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Anak Panah

5 November 2020   08:47 Diperbarui: 5 November 2020   08:56 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto oleh Renan Lima/ Pexels. 

"Buatlah KTP, kini saatnya kau menjadi anak panah," kata Emak di perbincangan malam. Bulan tertutup kabut 

Aku pergi ke rumah Pak RT. Kataku, "Beri aku kata-kata. Kata Emak aku akan jadi anak panah."

Lalu aku ke Kantor Kelurahan, Kantor Kecamatan: difoto, dan ditanya nama

Aku anak panah, jawabku 

Di rumah Emak mempersiapkan bekal untukku. Sebungkus nasi, doa, dan pelukan yang basah. Air mata 

Jejakilah tanah rantau, agar kau belajar arti umpama dan jikalau, menimbang ragu menakar bimbang, di mana berkata 'ya', ke mana pula harus menempatkan 'tidak', bertemu jalan simpang, bersua ombak yang bergelombang 

Tapi di jalan riuh dengan putus asa 

Gerbang-gerbang sekolah banyak menumpahkan ijazah, anak-anak panah majal kurang terasah 

Aku gamang. Tapi pantang surut sebelum melangkah. Sebagai anak panah aku berusaha melesat jauh, hingga kakiku membawa ke negeri entah 

Di pintu, Emak cemas menunggu, tak putus dengan doa-doa yang menderu

***

Kramatwatu, November 2020 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun