Salah satu ciri penulis puisi yang baik adalah seorang pemberontak, pemberontak kata-kata. Dia harus bisa menciptakan ungkapan atau diksi yang baru. Itu bukan berarti harus berkata-kata aneh, atau menganehkan kata-kata. Tapi bagaimana ia dengan kata-kata biasa bisa dirangkai menjadi ungkapan yang tak biasa, menjadi diksi yang menarik.Â
Puisi, pada dasarnya ungkapan rasa, alat penyampai pesan dengan meringkas peristiwa dengan kata-kata puitis. Lima halaman peristiwa bisa diringkas lewat puisi dengan hanya satu kalimat atau beberapa kata.Â
Jakarta, dengan beribu-ribu persoalan dapat diringkas dengan satu kata puitis: Neraka! Atau ungkapan klasik, sekejam-kejamnya ibu tiri, lebih kejam lagi ibu kota. Bagi yang sukses mungkin menyebut dengan kata, surga.Â
Dalam berpuisi juga bukan sekadar memindahkan peristiwa, lalu dipenggal-penggal beberapa bait seolah-olah puisi. Dia harus memperhatikan rima, dan ketika dibaca, kalimat itu seperti berayun.Â
Rima juga jangan diartikan sekadar persamaan bunyi, tapi bagaimana kita memadupadankan kata menjadi frasa yang menarik.Â
Puisi juga adalah permainan bunyi, kata Joko Pinurbo.Â
Ada penyair menulis kata "cinta'', tapi ada penulis lain menyebut, "aku ingin selalu berada dalam kepalamu." "Aku ingin ke barat," kata sebuah puisi. Tapi ada puisi lain dengan frasa, "Aku ingin pergi ke tempat matahari terbenam."
Banyak pilihan. Dan itu tidak ada kata-kata yang aneh.Â
Memang ada puisi yang ditulis dengan diksi yang lugas, seperti puisi-puisi protes atau kritik sosial, karena agar mudah dimengerti. Tapi kalau tidak hati-hati, ia hanya sekadar puisi caci-maki.Â
Puisi adalah salah bentuk seni. Dan seni itu indah.Â