Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Jejak Puisi pada Jejak-jejak

22 Oktober 2020   22:33 Diperbarui: 22 Oktober 2020   22:47 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto oleh Maksim Goncharenok/ Pexels 

Kutulis ini pada setiap lintasan waktu, saat subuh mengirimkan gigil, hati bergetar ketika azan memanggil; siang, menceritakan jalan yang pecah, mengukur jalan gundah, orang-orang yang taksabar; malam, membaca ulang mimpi yang padam, mencumbu hening agar bisa membaca ulang jejak secara bening 

Daun, bunga, pepohonan; kebun dan sawah ladang; ikan dan segala hewan air, binatang ternak, burung-burung dan semua yang terbang; yang liar dan yang jinak

Jalan lurus, berbatu, ngarai, lembah, perbukitan dan puncak gunung; sungai, danau, dan lautan; gurun, stepa, tundra, dan sabana; hujan, kemarau, serta guguran salju 

Keberangkatan serta kepulangan, selamat datang dan selamat tinggal, percakapan riuh dan sunyi

Tawa, cinta, air mata, dan drama yang menyertainya 

Bumi, langit, dan segala isi

Kata-kata biasa, lugas, maupun penuh metafora 

Puisi merekamnya. Hitam putih, dan banyak warna 

Dengan kata amuk, luka, dan seribu rasa cinta 

***

Lebakwana, Oktober 2020. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun