Lelaki: Kukabarkan kepadamu tentang taman kota, tempat anak-anak bermain; orang-orang melepaskan penat setelah seharian melarungkan cinta di jalan, di pabrik, di kantor, di tempat-tempat yang tak tercatat atau yang tak bernama; sepasang kekasih duduk di bangku taman, mereka-reka mimpi masa depan
Perempuan: Aku adalah puisi pada arah empat mata angin. Berjalan sesuai kehendak, berlari hingga batas inginÂ
Lelaki: Tidak. Kau takbisa beranjak dari  masa lalu, membawa gerimis dalam bola matamu. Masuklah ke dalam cermin, selalu ada kabut di wajahmuÂ
Perempuan: Aku baik-baik sajaÂ
Lelaki: Tapi kau selalu berdiri di jendela. Berharap ada cinta singgah di berandaÂ
Perempuan: Jendela adalah cara hatiku merasakan kehangatan sinar matahari; bermain-main dengan cahaya bulan saat datang kegelapan. Tapi aku tidak lupa menikmati cahaya lampu-lampu, warna-warna di etalase toko; juga cerita-cerita di balik gaun pestaÂ
Lelaki: Kau hanya menutupi luka sementara. Padahal masa lalu sering  mengirimkan nyeri pada dadaÂ
Perempuan: Aku memang takbisa memakai topeng di hadapanmuÂ
Lelaki: Tak selamanya selalu badai; dia pasti akan cepat usai, walaupun impian belum sempat tergapai. Bahkan di antara hujan dan matahari, selalu berharap munculnya pelangiÂ
Suatu saat ada seseorang membawa setangkai mawar untukmu, sembari mengajarkan bagaimana menghidu harumnya tanpa tertusuk duri. Kalaupun terkena, ia akan ikut  bersamamu merasakan lukaÂ
***
Cilegon, September 2020.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H