Keriuhan pasar tumpah di kepalamu. Kau merebusnya bersama mi instan, penuh penyedap rasa dan zat pewarna. Anak-anak makan dengan lahap. Aku berpikir, bisakah gizi dari mi itu untuk mempelajari matematika, bahasa Inggris, teknik, kedokteran. Atau memperlancar bicara. Siapa tahu nanti ia bisa menjadi anggota parlemenÂ
"Jangan berpikir macam-macam," katamu sambil meletakkan kopi. "Jangan ikut-ikutan demo. Syukuri kalau kau tidak termasuk yang di-PHK pabrikmu."
Jangan pula pabrikmu dibawa ke rumah. Rumah ini sudah hampir pecah dengan suara-suara tagihan pemilik kontrakan. Pun hutang bulan lalu di warung depan belum lunas
Aku menghirup kopiku yang selalu pahit. Mengancingkan seragam pabrik. Memakai sepatuÂ
Anakku yang akan berangkat sekolah, menyalamikuÂ
"Kalau aku sudah besar, boleh nggak aku jadi dokter?"
Aku tersedak, tak sanggup menatap bening mata anakkuÂ
"Boleh," jawabku sambil menunduk, pura-pura membetulkan tali sepatuÂ
***
Cilegon, Juli 2020.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H