Malam masih pekat, lampu-lampu jalanan menyorot pucat.Â
Suasana begitu asing.Â
Seorang perempuan muda menyeret tubuhnya yang hampir roboh, keluar dari sebuah bar. Rambut dan pakaiannya terlihat kacau. Mungkin perempuan itu mengira hidup bisa disiasati dengan 'jikalau', tapi kemudian yang dihadapi adalah kawat-kawat berduri, dan jebakan ranjau.Â
Hanya dua pilihan: Tubuh penuh luka, atau mimpi-mimpinya meledak. Selesai.Â
Ia belum menemui pilihan yang ketiga.Â
Seorang pengemudi taksi menawarkan jasa. Perempuan itu membuat isyarat dengan tubuhnya untuk mengatakan, 'tidak'. Hati-hati, di depan ada sekumpulan serigala, pengemudi taksi itu mengingatkan.Â
"Kota ini, penghuni lelakinya adalah kumpulan serigala. Tubuhku sudah biasa dicabik. Bukankah kau salah satunya?"
Pengemudi taksi itu terbahak.Â
Terdengar bunyi, "hoaak...!'' Perempuan itu mengeluarkan isi perutnya di atas trotoar. Menguar bau minuman. Ia ingin memuntahkan semua: Dentuman musik, geliat tubuhnya menari di sebuah tiang, juga ludah tiga serigala di ruang karaoke.Â
Ia kembali menyusuri trotoar, gerak tubuhnya sedikit limbung. Ia tak peduli, seperti selama ini kota tak memperdulikan dirinya. Bagaimana pula ia harus menanggapi siulan nakal di seberang jalan.Â