"Pagi ini aku sedang menunggu matahari," Â pesanmu masuk tiga puluh detik yang lalu. Sedang di tempatku kabut masih menyelimuti. Terdengar desis air yang sedang dijerangkan. Baiklah, kusiapkan kopi untuk diseduh
Seharusnya kita duduk berdua di sini. Mungkin juga dikelilingi teriakan anak-anak kita, sambil menonton televisi. Atau mungkin juga sedang menyiangi bebungaan, di sisa tanah depan halaman rumah. Tapi, sudahlah, itu cerita masa lalu.Â
Cinta ternyata bukan soal menyatukan perbedaan-perbedaan, tapi juga tentang keinginan-keinginan yang mungkin lebih memilih jalannya sendiri.Â
Aku ingat, saat itu kariermu sedang menanjak. Kau diangkat menjadi salah satu kepala divisi di perusahaanmu. Itu membuatmu sangat sibuk, juga kau sering ditugaskan ke luar kota oleh perusahaanmu.Â
Terus terang ini mengkhawatirkanku. Waktu-waktu untuk kebersamaan kita sering tergerus. Memang ada saling sapa, saling kirim gambar lewat WA, tapi kurasakan begitu hambar. Dingin.Â
Kurasakan juga kau kini terasa asing, begitu ambisius. "Kapan lagi?" kilahmu, "Selagi ada kesempatan."
Mungkin aku terlalu konvensional. Aku menginginkan suatu saat nanti kita mendiami rumah sederhana; kau di rumah mengurusi anak-anak, aku saja yang bekerja di luar.Â
Tapi, tidak. Kita ini hidup di jaman bagaimana meraih kesempatan sebanyak mungkin, kau memberi alasan.Â
"Itu terlalu idealis. Mungkin hanya ada  dalam cerita-cerita novel. Pada kenyataannya, kita butuh biaya untuk anak-anak di sekolah yang bagus. Aku ingin pakaian yang bagus, ingin keliling dunia. Sikap idealis tidak bisa membayar itu semua.Â
"Dan, aku tak ingin buru-buru punya anak," katamu memberi pagar.Â