Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kembang Cinta untuk Dinni

26 Maret 2020   21:43 Diperbarui: 26 Maret 2020   21:49 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cinta harus diucapkan! 

Dan itu yang akan kulakukan sore ini. Aku sudah berada di depan rumahnya, dengan setangkai bunga mawar segar. Sengaja ini kupesan dari penjual bunga langganan keluarga kami. Mm, mawar. Itu bunga perlambang cinta, bukan? 

Aku sudah membayangkan bagaimana reaksi Dinni nanti. Tentu dia akan terkejut, tentu dia akan terharu, tentu dia akan gemetar sambil menghapus air matanya. Air mata bahagia. 

Sudah pasti! 

***

Dinni, Apriani Dinni, semua mahasiswa di lingkungan kami kuliah mengenalnya. Dia kembang kampus kami. Selain itu dia gadis yang cerdas, dari semester pertama selalu mendapat beasiswa dari pihak universitas. 

Banyak teman-teman cowok ingin mendekatinya, ingin mengenalnya lebih jauh; syukur-syukur Dinni mau menjadi kekasih mereka. Tapi Dinni hanya menjawab dengan senyum, penolakan secara halus. 

Mereka juga ragu, karena mereka sering melihat kebersamaanku dengan Dinni. Dinni sejak awal masuk kuliah memang sering berangkat dan pulang kuliah bersamaku. Selain ia kawan satu SMA, ia satu fakultas denganku. 

Sebenarnya sejak SMA aku sudah menyukainya, tapi masih ada perasaan takut kalau-kalau ia menolaknya. Perasaan itu makin membuncah, saat kami kuliah satu kampus. Tapi tetap saja ada perasaan takut yang menghantui diriku. 

Sebenarnya itu tak perlu. Apalagi selama ini ia selalu mempercayaiku. Dinni selalu memintaku untuk menemaninya, entah membeli buku, pergi ke mal, atau nonton film. Orangtuanya juga lebih percaya kalau aku yang menemaninya. 

Dinni juga tak segan-segan bercerita masalah pribadinya. Dari soal keluarganya, teman-temannya, dan cowok-cowok yang sering menggodanya. Juga soal Warkasa. 

Warkasa? Kurang ajar benar cowok satu ini. Cowok gondrong, anak teater ini, belakangan sering mengirim puisi ke Dinni. 

"Sebel!" ungkap Dinni. 

Aku cemburu. Cara Dinni mengungkapkan kata 'sebel'' itu, tak kelihatan pada wajahnya. Ia terlihat gembira. 

Ini tak dapat dibiarkan. Sekecil apa pun kemungkinannya ada cowok yang dekat dengan Dinni harus dicegah. Maka aku pun ikut-ikutan menulis puisi untuk Dinni, "... Kalau sampai waktuku, kumau tak seorang pun merayu..!" 

Dinni ngakak. "Ini kan puisinya Chairil Anwar? Udah, deh, kamu nggak usah nulis puisi. Nih lihat, puisi-puisi Warkasa. Puitis!" 

Hm, Warkasa! Hatiku panas. 

Akhirnya aku minta saran dengan Budi Susilo, playboy kawakan di kampus. 

"Cewek itu," kata Budi, "Biar kata dia cinta setengah mati dengan kita, tetap dia pengen cowok dulu yang mengungkapkannya,"  lanjut Budi lagi. 

Benar juga. Nggak salah kalau cewek-cewek di kampus banyak yang takluk dengan dia. 

Aku harus bergerak cepat. Jangan sampai cowok lain mendahuluinya. 

***

Sore ini aku sudah di depan rumahnya. Sebenarnya aku ingin datang waktu malam, biar lebih romantis. Tapi Dinni meminta sore saja, karena malam dia ada keperluan. Dari nada pembicaraannya di telpon, terdengar suaranya begitu ceria sekali. Hm, ini tanda-tanda baik. 

Apa yang akan kulakukan nanti? Berlutut, menyerahkan kembang seraya menyatakan cinta, seperti film-film romantis itu? Ah, ini terlalu umum. 

Begini saja. Saat Dinni membuka pintu langsung keserahkan kembang itu. Kaget, pasti. 

"Ada apa ini?" tentu Dinni bertanya.

"Untukmu."

"Untukku?"

"Ya, untukmu."

"Aku... aku...!"

"Dinni, Apriani Dinni..., maukah kamu menjadi kekasihku...?"

Ach, dahsyat. Ini adegan dahsyat. Dunia boleh mencatatnya. Bahkan Donald Trumph diizinkan untuk mengutip untuk twitternya. 

Mata Dinni tentu saja berkaca-kaca, terharu. "Aku..., aku sudah lama menunggu seperti ini... terima kasih, mau... aku mau!" 

Nah! 

Tunggu dulu! Apa ini bukan kesannya terlihat terburu-buru? Mm, nanti saja, menunggu saat yang tepat. 

Kembang itu kuselipkan di pagar. 

***

Dinni menyambutku dengan senyum yang amat cerah. Terlihat ia begitu rapi. Mm, baru selesai mandi. Aroma parfum dari tubuhnya menyelusup hidungku. Kupejamkan mataku sejenak, meresapinya. Apakah ia memang sengaja ingin menyambutnya seperti ini? Ini memang tak biasanya. Ah, cinta, selalu menemui jalan yang tepat. 

Aku dan Dinni duduk bersisian, dipisahkan meja kecil. Di teras depan rumahnya. Dinni tersenyum kecil memandangku. 

Sekarang! 

"Din...."

"Ng..."

"Aa-aku, aku..., aku ingin mengatakan sesuatu padamu... kabar bahagia.... Aku...!"

"Iya? Kok kita sehati, ya? Aku juga ingin menceritakan kabar bahagia."

"Kamu?"

"Hu-um. Dia... dia...," pipi Dinni memerah. 

"Siapa?" perasaanku tak enak. 

"Warkasa," menyebut itu pipi Dinni makin memerah. 

Deg! Warkasa?! 

"Dia..., dia nembak aku. Pagi tadi Warkasa menyatakan cinta ke aku.... Aku...!"

"Dia? Warkasa? Kamu marah? Kamu mencaci-maki dia? Kamu...?"

"Marah? Gila, apa? Aku seneng banget. Kamu tahu kan, aku seneng dengan puisi-puisinya, dan ini membuatku jatuh cinta. Rupanya dia juga udah lama memendam perasaan denganku. Dan tadi, tadi pagi," Dinni memejamkan matanya. Bibirnya tersenyum. 

Kepalaku terasa seperti berputar, napasku sesak. Ini seperti ledakan, lebih menggelegar bila dibanding aku divonis dokter terjangkit virus Corona. 

"Kamu seneng kan dengarnya? Kamu orang pertama yang aku kasih tahu."

Senang? Kepalaku berdenyut. 

"Din."

"Hm?"

"Kamu percaya doa orang teraniaya langsung dikabulkan Tuhan?"

"Percaya."

"Semoga saja detik ini ada tsunami menerjang rumah Warkasa."

"Ngaco. Nggak boleh berdoa yang buruk. Lagian, kalau ada tsunami, rumahmu pasti kena juga. Rumah kamu kan berdekatan dengan dia?"

Dadaku terasa makin sesak. 

Tiba-tiba Dinni melihat sesuatu di pagar. Kemudian ia menghampiri, mengambil kembang yang kuselipkan tadi. 

"Bagusnya mawar ini. Siapa yang narok di sini? Nih, untuk kamu aja. Anggap aja hadiah dariku, merayakan kebahagiaanku."                                    

Aku tersenyum masam. 

"Tahu nggak, kenapa aku nyuruh kamu datangnya sore? Karena dia, dia, Warkasa malam ini ngajak aku nonton. Ini kencan kami yang pertama. Oh, indahnya."

Kulihat Dinni bersenandung kecil. Matanya berbinar-binar. Sedangkan mataku sendiri terasa berkunang-kunang***

Cilegon, Maret 2020. 

Catatan.

Kepada Apriani Dinni dan Warkasa, juga Budi Susilo, sori, namanya dipinjam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun