Orang menyebutnya kegilaan, tapi aku harus mengatakan, ini petualangan yang harus kunikmati, yang selama ini hanya mengisi fantasi liarku.Â
Aku tidak sedih, tidak menyesal, saat Pak Darmo mengetahuinya. Dia langsung menceraikanku. Entah kenapa saat itu aku begitu lega. Tidak halnya dengan kedua orangtuaku. Mereka begitu marah. Bukan karena hubunganku dengan To, tapi lebih karena hal ini membuat pasokan materi menjadi terhenti, yang membuat kedua orangtuaku menjadi miskin lagi.Â
Kali ini aku ingin sedih...!Â
***
Kini aku sudah beberapa tahun di kota ini, ratusan kilometer dari tempat tinggalku. Ini bukan soal keberanian. Tapi, mungkin, untuk meluapkan kemarahanku, dengan caraku.Â
To, lelaki muda itu, aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Tapi memang aku harus berterima kasih kepadanya, karena sesekali membuat diriku tersenyum, mengenang petualangan liar kami. Cinta? Kurasa tidak.Â
Kedua orangtuaku tidak lagi menuduhku sebagai orang yang membuat mereka menjadi miskin kembali. Tiap bulan secara rutin aku mengirimkan uang kepada mereka, hingga membuat kehidupan mereka lebih dari cukup, dan adik-adikku yang empat orang itu dapat kembali bersekolah.Â
Kedua orangtuaku juga tidak pernah bertanya, mengapa aku yang hanya tamatan SMP dan tidak mempunyai ketrampilan apa-apa dapat mengirim uang jutaan tiap bulan. Kemiskinan yang akut yang diderita keluarga kami berpuluh tahun membuat kedua orangtuaku takut untuk menanyakan hal itu padaku.Â
Aku berusaha memakluminya, juga berusaha tak mengeluarkan air mata. Tapi sungguh sulit. Sama sulitnya untuk memaafkan diriku. Setidaknya sampai hari ini.Â
***
Cilegon, Januari 2020.Â