Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Aku Melihat Seorang Perempuan di Seberang Jalan

15 Januari 2020   21:55 Diperbarui: 17 Januari 2020   23:48 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matanya diselimuti kabut, dan tubuhnya seperti menyimpan pusaran  badai, yang sewaktu-waktu akan dihempaskan entah kepada siapa. Ia tak peduli dengan lalu-lalang kendaraan, tapak-tapak kaki yang bergegas, dan angin yang basah. Tampaknya sebentar lagi akan turun hujan.

Suara-suara.

Perempuan itu seperti mengingat percakapan-percakapan di dalam kepala, mungkin tentang cerita-cerita dibalut gula yang kemudian berujung penghianatan, atau mungkin peristiwa lain yang membuat sakit hatinya. Dan ia berusaha menyembunyikan luka dan air mata. Diam-diam. 

Perempuan itu masih di seberang jalan. Gerimis sudah jatuh, tapi badai di tubuh perempuan itu terlihat makin membesar, seperti akan terjadi ledakan besar bila badai itu dihempaskan. 

Ia masih berdiri. Gelisah, sedikit gugup. Bahasa tubuhnya dapat terbaca, bahwa ia seperti tak yakin akan dirinya. Tiap sebentar melihat ke suatu arah. Menunggu sesuatu, atau ia sedang dinanti seseorang?

Gerimis makin rapat.Perempuan itu bergeming di tempatnya. Sepertinya kini ia yakin, bahwa seseorang - atau entah apalah - akan dilihatnya. 

***

Aku sendiri berjarak cukup jauh di seberang perempuan itu. Kami dipisahkan empat jalur jalan yang cukup lebar, dan di tengahnya dipisahkan jalur hijau; ada ditanami rerumputan halus, pot-pot dengan pokok tanaman yang tertata rapi. 

Sosok dan wajahnya tak begitu jelas terlihat dari seberang ini. Selintas mengingatkanku pada sosok perempuan, pada suatu masa. Tapi rasanya tak mungkin, karena sama saja mensinkronkan dari berjuta kemungkinan. Ditambah jarak waktu yang bertahun-tahun lamanya, dan rentang kilometer yang ratusan dari tempatku berdiri. 

Ada kilatan yang diikuti suara gemuruh dan ledakan di langit. Gerimis menjadi butiran air yang membesar. Semakin banyak. 

Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh. Tubuh perempuan itu seperti akan beranjak, di saat itulah tatapannya ke seberang, ke tempatku berdiri. Cukup lama. 

Sepercik kilat keluar dari matanya. Aku yakin itu bukan pantulan dari guntur, tapi yang kurasa semacam mata tajam dari sebilah pedang, yang akan mencumbui batang leherku. 

Samar, jarak pandang yang makin mengabur, karena terhalang hujan, tertangkap oleh mataku; tarikan bibir yang halus. Rasanya aku ingat dengan senyum itu. 

Entah apa yang menggerakkanku, aku menyeberangi jalan menuju ke arah perempuan itu. Di saat bersamaan perempuan itu juga menyeberang menuju ke arahku. Agak sulit aku menggambarkan situasi saat itu, aku yang menyongsong perempuan itu, atau perempuan itu yang mengejarku.

Hujan makin menggila. Tapi aku dan perempuan itu seperti tak peduli.

Di antara perhatianku yang terpecah, menahan perihnya mata karena air hujan, juga menghindari kendaraan yang melaju dengan cepat, berterbangan kepingan-kepingan gambar di dalam kepalaku, gambar-gambar masa lalu. 

Kepingan-kepingan itu membentuk gambar utuh setelah kami bertemu di tengah, di jalur hijau. Melihat mata itu. Sepasang mata yang sangat kukenal. 

Mata itu, mata perempuan itu, mata yang sangat teduh, yang berharap bisa selalu bersandar di bahuku. Mata yang tak menaruh rasa curiga. 

Mata itu pula yang memejam, dekat hamparan sawah yang sunyi. Dan di sana ada kuda-kuda berlarian, berpacu dengan suara gemuruh di padang-padang sabana. Dan butiran keringat yang jatuh. 

Berwaktu-waktu. 

Dan aku hanya sekadar merayakan petualangan masa mudaku. Makanya hanya tertawa dan mengatakan, "tidak!", saat perempuan menginginkan kata-kata dariku. 

Tak ada geram, tak ada kemarahan, juga tak ada air mata. Hanya mata perempuan itu menatap tajam, "Setelah bayi ini lahir, akan kucari dirimu. Di mana pun!" 

Dan kini mata itu ada di hadapanku. Aku tak sempat menyapa, karena perempuan itu mengacungkan sesuatu. Kemudian ada ledakan berbarengan dengan percikan api. Selarik cahaya yang menyilaukan bergerak cepat, sangat cepat. Menuju tepat di antara dua alisku. 

Kurasa aku masih bisa mengingat, tubuhku terjerembab ke belakang.

***
Cilegon, Januari 2020. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun