Sepercik kilat keluar dari matanya. Aku yakin itu bukan pantulan dari guntur, tapi yang kurasa semacam mata tajam dari sebilah pedang, yang akan mencumbui batang leherku.Â
Samar, jarak pandang yang makin mengabur, karena terhalang hujan, tertangkap oleh mataku; tarikan bibir yang halus. Rasanya aku ingat dengan senyum itu.Â
Entah apa yang menggerakkanku, aku menyeberangi jalan menuju ke arah perempuan itu. Di saat bersamaan perempuan itu juga menyeberang menuju ke arahku. Agak sulit aku menggambarkan situasi saat itu, aku yang menyongsong perempuan itu, atau perempuan itu yang mengejarku.
Hujan makin menggila. Tapi aku dan perempuan itu seperti tak peduli.
Di antara perhatianku yang terpecah, menahan perihnya mata karena air hujan, juga menghindari kendaraan yang melaju dengan cepat, berterbangan kepingan-kepingan gambar di dalam kepalaku, gambar-gambar masa lalu.Â
Kepingan-kepingan itu membentuk gambar utuh setelah kami bertemu di tengah, di jalur hijau. Melihat mata itu. Sepasang mata yang sangat kukenal.Â
Mata itu, mata perempuan itu, mata yang sangat teduh, yang berharap bisa selalu bersandar di bahuku. Mata yang tak menaruh rasa curiga.Â
Mata itu pula yang memejam, dekat hamparan sawah yang sunyi. Dan di sana ada kuda-kuda berlarian, berpacu dengan suara gemuruh di padang-padang sabana. Dan butiran keringat yang jatuh.Â
Berwaktu-waktu.Â
Dan aku hanya sekadar merayakan petualangan masa mudaku. Makanya hanya tertawa dan mengatakan, "tidak!", saat perempuan menginginkan kata-kata dariku.Â
Tak ada geram, tak ada kemarahan, juga tak ada air mata. Hanya mata perempuan itu menatap tajam, "Setelah bayi ini lahir, akan kucari dirimu. Di mana pun!"Â