Kepada penyair Mim YudiartoÂ
Ingin kubaca ulang novel Musashi ( yang katamu setebal bantal ), tapi aku sudah lupa di kardus mana novel itu kusimpan. Tidak juga di rak buku. Atau, mungkin, sudah habis diserbu rayap yang -  barangkali  -  ingin merasakan menjadi ronin. Rayap-rayap itu tak punya tuan, bukan?Â
Ah, aku lupa, kalau aku tak punya rak buku, yang bagiku keberadaan rak itu terlalu mewah untuk rumah kontrakanku yang kecil. Tentu ia akan berkelahi, berebut tempat dengan motor bututku dan barang-barang yang tak perlu
Baru kuingat pula, novel itu tak pernah kumiliki. Aku hanya meminjam-sewa di Taman Bacaan ( yang di awal 80-an di Jakarta masih ada tempat penyewaan buku ). Pun aku harus menimbang, bagaimana memperpanjang langkah di hadapan jalan, yang ujungnya pun masih serupa bayang-bayang. Kau tahu, harga novel itu bisa membuatku duduk berhari-hari di Warteg, sambil angkat kaki
Tapi aku masih terkesan bagaimana Shinmen Takezo, lelaki pecundang, kemudian menjelma menjadi Musashi, lelaki yang samurainya berkelebatan ke antero langit JepangÂ
Berdiri dengan dua pedang
Dan selalu ada yang menungguÂ
Tapi ada masa ia hanya mengirim pesan, menebas setangkai bunga mawar yang tumbuh di halaman. Ini pesan ngilu, akan menyesal kalau ingin mencoba menggangguÂ
Tangkai tertebas rapi tak pecah, yang hanya bisa dilakukan seorang mumpuni sudah lama terasah. Sang penantang pun gemetar surut langkah
Tapi bukan itu, Mim, tugas puisi. Membuat kata-kata menajam pedang, mengirimkan gigil ke persendian dan tulang-tulang. Tugas puisi adalah menumbuhkan kembali seribu mawar yang tertebas tadi
Seperti halnya Musashi, akan tiba juga kau di pantai. Di antara debur ombak, keciap dan kepak sayap burung camar, juga batu-batu karang
Lawan tangguh yang bertahun-tahun mencari, untuk membuktikan siapa pesamurai sejati. Di hadapanmu ia berdiri
Akankah kau menghunus kata-kata menjadi kilatan pedang. Ah, sebenarnya sudah ada lawan tangguh selalu menungguÂ
: Dirimu
Kurasa itu
***
Cilegon, Desember 2019Â