Tiba-tiba saja aku ingin menulis puisi tentang patah hati, padahal aku sedang jatuh cinta kepada perempuan yang ia tidak tahu aku selalu memujanya dalam setiap puisi-puisiku.Â
Kurasa perempuan itu datang bersama gerimis, kulihat geriap rambutnya ada percikan air. Ia selalu menyanyi setiap malam di panggung kecil, di sudut sebuah kafe. Ia menyanyi dengan seluruh tubuhnya, tapi tidak matanya. Ia tetap bernyanyi walau seruangan cafe tak peduli.Â
Kurasa aku harus menulis puisi.Â
Bisakah duduk sejenak, mendengarkan kehangatan hati, aku menahannya seusai menyanyi. Tidak, jawabnya. "Aku harus sampai di rumah sebelum dentang jarum jam menunjukkan angka dua belas," ia menolak.Â
Ia pun berlari.Â
Adakah sebelah sepatunya tertinggal? Ah, pikiranku terlalu mengada-ada, seolah-olah aku sedang masuk dalam cerita Cinderella. Tapi yang jelas ia bukan seorang bidadari.Â
Aku tidak ingin tertipu soal bidadari ini. Aku pernah terkecoh dengan iklan parfum, yang bisa membuat bidadari berjatuhan setelah tubuh tersemprot parfum itu.Â
Tidak. Aku tidak akan mengadukan pabrik parfum itu ke polisi, karena perempuan itu, yang menyanyi di panggung kecil sudut kafe, dan pengunjung tak memedulikannya, di mataku telah menjelma menjadi bidadari; berjatuhan di hatiku.Â
Maka ia akan kuabadikan dalam puisi-puisiku, walau aku tahu tak akan sanggup melakukannya. Perempuan itu, tubuhnya, gerak-geriknya, segalanya, adalah puisi itu sendiri.Â
***