Sepertinya aku tidak jadi menulis puisi tentang patah hati; perempuan penuh puisi itu penyebabnya. Tapi seperti yang kukatakan semula, aku tidak sanggup menulis tentang perempuan itu. Mungkin aku hanya menuliskan tentang perasaanku saja, tentang hal-hal yang menggembirakan hati; cinta, tentu saja.Â
Aku tidak ingin tahu namanya, juga tak peduli apakah ia sudah mempunyai kekasih atau tidak. Tak penting pula bagiku, apakah ia sudah bersuami atau belum, dan sederet anak menanti di rumah.Â
Aku juga tak ingin bercerita, apakah aku mempunyai kekasih, Istri, atau sebarisan anak menunggu di rumah.Â
Cukuplah dia menjadi perempuan puisi bagiku. Dia, ah, bukankah sudah kukatakan - catat, ini yang ketiga kali  -  aku tidak sanggup menulis puisi tentang dirinya.Â
Kalau tidak percaya, boleh panggil Chairil Anwar. Penyair 'binatang jalang' itu pun tak akan sanggup menuliskannya. Apatah lagi penyair recehan seperti diriku.Â
***
Malam ini perempuan puisi itu masih berdiri di panggung kecil di sudut kafe; ia bernyanyi dengan seluruh tubuhnya. Kali ini matanya ikut bernyanyi. Akukah  penyebabnya?Â
Sudah kupesan cappuccino hangat untuk dirinya. Sudah kusiapkan pula cerita-cerita hujan, yang beberapa malam ini membasahi hatiku.Â
Seusai bernyanyi perempuan puisi itu menghampiri mejaku. Tersenyum.Â
Aku harap kalian tidak jengkel, atau marah pada diriku, karena untuk selanjutnya, izinkan, itu hanya menjadi cerita kami berdua.Â
***