Sayang itu hanya sebatas harapan. Dilihatnya ibunya sedang sibuk mempersiapkan jualan nasi uduknya. Sedang ayahnya sudah keluar usai Shalat Subuh tadi. Pun adiknya yang kelas 5 SD itu, sedang merengek minta uang jajan sekolah. Biasa-biasa saja, seperti halnya rutinitas hari-hari kemarin.Â
Mungkin di sekolah nanti? Kenang berdebar-debar.Â
Di sekolah, di dalam kelas, Kenang melihat teman-temannya beraktifitas seperti biasa. Juga Bu Indri, wali kelasnya, mengajar seperti biasa. Ia tidak dipanggil ke depan kelas, tidak dimarahi. Tidak. Tidak ada yang aneh. Mungkin saat istirahat?Â
Tidak juga.Â
Sampai bunyi bel terakhir tak ada kejutan seperti yang diharapkan Kenang, hingga Kenang duduk sendirian di dalam kelas.Â
Kenang menyusuri koridor sekolah yang mulai sepi. Mungkin di ujung koridor teman-temannya sedang menunggu, mengagetkannya menyiram tubuhnya dengan air. Tidak ada. Sepi.Â
Di gerbang sekolah? Tidak.Â
Di..., di halte, mungkin? Kenang masih berharap. Tidak. Sama saja.Â
Di dalam angkot menuju arah pulang, Kenang tercenung, memandang ke jalanan dari balik kaca. Kenang tersenyum sendiri. Menyalahkan sekaligus memaafkan dirinya sendiri. Aku ini siapalah, batin Kenang.Â
Sesampainya di rumah, tanpa mengganti seragam sekolahnya, Kenang berbaring, menatap langit-langit kamar. Hari ini tepat usianya 17 tahun. Apa artinya? Mungkin tak ada, sama dengan hari-hari kemarin. Mungkin kalau perlu dicatat, tepat di usianya yang ke-17, Kenang ada mengingat tanggal kelahirannya. Itu saja.Â
Belum lama berbaring, terdengar suara ketukan di pintu. Kenang bangkit dan membukanya. Tampak seseorang dengan pakaian seragam sebuah perusahaan jasa pengiriman.Â