Jothakan berasal dari kosakata Bahasa Jawa. Ungkapan ini hanya terdengar pada masa-masa kecil saya dahulu. Pengertiannya adalah rasa permusuhan, atau tak bertegur sapa sesama kawan.                Â
Pangkal persoalan biasanya masalah sepele, entah karena tak membagi makanan, kalah bermain kelereng ( bagi laki-laki ), kalah main bola bekel ( bagi perempuan ), atau karena tak sependapat di halaman rumah siapa saat akan bermain sepakbola ( pada masa itu halaman rumah orang cukup untuk bermain sepakbola, dengan menggunakan bola plastik ), atau karena hal lainnya.Â
Biasanya setelah itu saling diam, saling melengos ( pura-pura tak melihat ), bila bersirobok di jalanan. Jothakan, kami menyebutnya.Â
Kami melihatnya risih, karena semuanya kawan sepermainan. Biasanya adanya yang berinisiatif untuk mendamaikan yang bermusuhan itu. Tentu saja mereka gengsi, karena masing-masing pihak merasa paling benar.Â
Akhirnya kami menjebak yang bermusuhan itu pada situasi tinggal mereka berdua saja. Kami agak menjauh. Tentu saja kawan yang bermusuhan itu sikapnya menjadi kaku, Â malu, dan sebagainya.Â
Di kejauhan kami mengojok-ojok mereka. Sambil menahan malu biasanya mereka saling mendekat, dan entah siapa yang memulai, mereka saling menautkan jari kelingking. Melihat itu kami bersorak tertawa, karena tak ada lagi  permusuhan.Â
Bila esok ada lagi yang tak bertegur sapa, kami mengulangi jebakan-jebakan itu.Â
Tapi bila jothakan itu terjadi pada orang-orang dewasa, yang berkecimpung di dunia politik, dalam pemerintahan, bagaimana jadinya? Tentu tak sedap untuk dilihat.
Bila ada Mantan Presiden, Ketua Umum Partai terlama di dunia, tak memenuhi undangan Presiden untuk sebuah perayaan kenegaraan, tentu patut dipertanyakan. Dan berlangsung selama sepuluh tahun ( dua kali jabatan presiden ). Orang menduga, sang mantan tersakiti, dibuat malu karena dikalahkan mantan anak buahnya.Â
Tentu saja hal ini dibantah. Orang-orang dalam lingkaran sang Mantan Presiden terpaksa disibukkan memberikan alasan-alasan pembenaran untuk dibenar-benarkan.Â
Jothakan itu terulang kembali. Tapi ini terjadi terhadap orang dalam satu barisan, karena orang itu sempat berakrobat untuk menyatakan beda pendapat.Â
Tak ada tegur sapa, walau mereka bersirobok berhadap-hadapan. Ada yang menanggapi aneh, lucu, atau biasa-biasa saja. Kembali orang dalam lingkaran mengemukakan alasan pembenaran, bahwa alasan itu memang benar, dengan mengambil sudut peristiwa seolah-olah benar. Padahal semua televisi menampilkan gambar yang sama. Mereka seperti sepakat tak dusta dengan gambar-gambar yang mereka tayangkan.Â
Melihat itu sebenarnya saya berharap ada yang berinisiatif untuk menjebak mereka, agar mereka berada pada situasi berdua saja, dan saling menautkan kelingking.Â
Ah, tapi mereka bukan anak-anak kecil lagi, bukan?Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H