Walaupun nanti naluri itu tersalurkan, karena pagar yang longgar atau rusak. Atau lewat film.Â
Coba ingat lagi, selesai kita menonton film-film laga ala Jacky Chan atau Jet Li. Tangan kita seperti mengembang saat keluar bioskop, seolah-olah kita sudah mendapatkan ilmu sakti, bisa ginkang, menghabisi penjahat yang lewat. Tapi ketika di perempatan ada preman yang menggertak dan nyali kita ciut, itu lain soal.Â
Atau barangkali ini semacam alter ego yang menyelusup di bawah alam sadar kita. Dan itu terpuaskan, bertepuk sorak saat jagoan di film menghabisi musuh-musuhnya, walaupun digambarkan secara brutal.
Dan kita tak perlu berkerut kening melihat gambar Rambo menenteng senjata berat berseliweran di bak-bak truk sepanjang Pantura, bersanding dengan tulisan, "Kutunggu jandamu!"
Dan kini Film Rambo V, Last Blood.Â
Itu tidak penting, first blood atau last blood, karena kita yakin ada next blood. Lupakan siapa-siapa pemainnya, karena Film Rambo pemainnya "cuma" satu, yaitu Rambo sendiri; itu yang diingat.Â
Apakah Rambo masih trauma dengan masa lalunya, membuat terowongan, atau melakukan vendetta dengan dingin karena anak angkatnya terbunuh?Â
Tidak. Yang diingat penonton adalah bagaimana pisau komando menembus leher, potongan kepala yang dicampakkan di jalan. Mata pun tetap tak berkedip, saat para penjahat menjadi sate oleh jebakan-jebakan besi runcing, ledakan berhamburan, anak panah yang tak pernah meleset, juga jantung yang dicongkel.
Dan naluri "kebinatangan" kita untuk membunuh seperti tersalurkan. Kita merasa puas saat keluar dari bioskop.Â
Oh ya, bagi yang belum nonton Film Rambo V ( Last Blood ), ada bocoran jalan ceritanya: Rambo menang!Â
***
Cilegon, 2019.Â