Tiba-tiba saja aku ingin menjadi api, mendahului matahari, membakar salju di kepalamu, hingga keinginan-keinginanmu tak lagi rekah, karena terlalu lama diusik oleh kemarau. Mengalir, membasahi angan-angan, menyatukan kembali keping-keping harapan, yang selama ini berlarian liar, tak punya kompas, tak ada juga pedomanÂ
Aku juga ingin menjadi api, membakar kepala-kepala yang dengan segala cara akan memenggal kepala yang lain. Kepala yang paling ditakuti, yang tangan kirinya membawa tara untuk menimbang, tangan kanannya membawa pedang, mencencang siapa yang lancung siapa yang lancang, tanpa mau diajak berbincang
Kepala-kepala yang menentukan suara, yang katanya mewakili suara-suara, tapi kini akan memancung sebuah suara yang tak sudi dihargai berapaÂ
Ke mana pula sembunyi api yang meledak-ledak. Atau, telah lupa cara menyalakannya, dilenakan dengan pamer sticker di kaca mobil pemberian bapaknya: We are yellow jackets. Atau sedang menghangatkan diri di balik punggung gajah, karena dinginnya tanah Parahiangan. Atau berasyik masyuk agar dosen killer jatuh hati di kampus biru
Tiba-tiba aku rindu menjadi api
***
Cilegon, 2019Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H