Apakah kali ini ia akan menghampiri, menyapa, mengenalkan diri, kemudian bercengkerama hangat. Kemudian...?Â
Ah, tidak.Â
Tidak!Â
Atau aku sendiri yang menghampirinya? Rasanya aku belum terlalu gila untuk bertindak sejauh itu. Atau sebaiknya aku..., heh, ke mana lelaki itu? Sekelebat bayangannya tertangkap sedang keluar dari kafe. Aku tak perduli, aku mengejarnya.Â
Terlambat! Lelaki itu telah menaiki sebuah taksi. Dengan mobilku aku membuntutinya dari belakang. Rasanya cukup lama berputar-putar di tengah kota. Akan ke mana lelaki itu? Atau ia tahu kalau aku sedang mengikutinya?Â
Taksi yang ditumpangi lelaki itu berhenti di sebuah sudut jalan. Aku memperhatikan dari jauh. Kulihat lelaki itu turun dan memasuki gang kecil. Cepat aku melajukan mobilku dan menghentikannya di tempat taksi tadi berhenti. Tapi lelaki itu sudah tak ada.Â
Menghilang!Â
Aku mencoba mengejar menyusuri gang itu. Bau got, musik dangdut yang dibunyikan keras-keras, sekelompok orang mengelilingi botol-botol minuman, siulan nakal, ucapan-ucapan kotor, dan orang-orang sedang bermain kartu. Pak, ada seorang lelaki lewat jalan ini? Lelaki? Bukankah kami semua ini lelaki? Apakah tidak cukup? Hahaha!Â
Lelaki itu seperti ditelan bumi.Â
***
Aku kini seperti orang tak waras. Aku kini berharap dapat bertemu dengan lelaki itu. Aku menyusuri kembali tempat-tempat di mana lelaki itu pernah mengikutiku. Tak ada. Lenyap.Â