Sengaja aku datang ke kota ini. Bukan untuk menertawakan kegagalan, Â atau menangisi keberhasilanÂ
Aku hanya ingin melihat pohon jambu dan rumpun bambuÂ
Pohon jambu adalah Yanto, Gandung, juga Ipin - kawan-kawan semasa kecil. Bergelantungan di dahan, menikmati buah curian, dihardik sang empunya pohon, terkejut jatuh, kemudian tertawa berlarian
Juga rumpun bambu. Merautnya menjadi bilah-bilah kecil, dijalin dengan benang hingga terbentuk rangka layang-layang. Agak bimbang, bisakah ini membawa mimpi-mimpi membumbung terbang. Atau memotong-motong menjadi bambu meriam, menyulutnya buat ledakan. Membagi dua barisan, satu menjadi penjajah, lainnya menjadi barisan pejuang
Atau memainkan lakon, memegang senapan kayu, "Kami menjadi perampok bank, dan kamu menjadi polisi pemburu," kawan-kawanku menunjuk diriku. Kemudian bersiasat untuk sembunyi dan berburu. Ketika ada yang lengah, mulut pun meniru bunyi ledakan, "Dor!". Bukan untuk menjadi pahlawan atau pecundang, tapi berbagi kegembiraan, karena hari-hari terlalu letih untuk tidak meraungi kemiskinanÂ
Entah mana yang benar, diburu-buru waktu, atau waktu yang cepat berlalu. Itu tidak terlalu pentingÂ
Kini, tempat kelahiranku dulu begitu asing. Kota seperti kloning dari kota-kota lain. Sesak dengan orang-orang yang terburu-buru, atau yang sedang diburu-buruÂ
Tak ada lagi pohon jambu dan rumpun bambuÂ
Kini berderet rumah yang berhimpit, dikotak-kotakkan dengan lorong-lorong yang sempit. Di situlah, di antara tempat tumbuhnya pohon jambu dan rumpun bambu dulu, aku mengikuti garis takdir, bertemu dengan sahabat-sahabat kecilku dahulu
Masih ada tempat persembunyian. Tapi kini bukan peran pura-pura. Kami melakoni peran yang sebenarnya. Tiga sahabatku menjadi perampok bank yang diburu, dan aku menjadi polisi yang memburu
Tak ada lagi bunyi tiruan mulut. Karena yang dipegang bukan senapan kayu.Â