Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Pulang ke dalam Kenangan

15 Agustus 2019   20:31 Diperbarui: 15 Agustus 2019   20:42 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sengaja aku datang ke kota ini. Bukan untuk menertawakan kegagalan,  atau menangisi keberhasilan 

Aku hanya ingin melihat pohon jambu dan rumpun bambu 

Pohon jambu adalah Yanto, Gandung, juga Ipin - kawan-kawan semasa kecil. Bergelantungan di dahan, menikmati buah curian, dihardik sang empunya pohon, terkejut jatuh, kemudian tertawa berlarian

Juga rumpun bambu. Merautnya menjadi bilah-bilah kecil, dijalin dengan benang hingga terbentuk rangka layang-layang. Agak bimbang, bisakah ini membawa mimpi-mimpi membumbung terbang. Atau memotong-motong menjadi bambu meriam, menyulutnya buat ledakan. Membagi dua barisan, satu menjadi penjajah, lainnya menjadi barisan pejuang

Atau memainkan lakon, memegang senapan kayu, "Kami menjadi perampok bank, dan kamu menjadi polisi pemburu," kawan-kawanku menunjuk diriku. Kemudian bersiasat untuk sembunyi dan berburu. Ketika ada yang lengah, mulut pun meniru bunyi ledakan, "Dor!". Bukan untuk menjadi pahlawan atau pecundang, tapi berbagi kegembiraan, karena hari-hari terlalu letih untuk tidak meraungi kemiskinan 

Entah mana yang benar, diburu-buru waktu, atau waktu yang cepat berlalu. Itu tidak terlalu penting 

Kini, tempat kelahiranku dulu begitu asing. Kota seperti kloning dari kota-kota lain. Sesak dengan orang-orang yang terburu-buru, atau yang sedang diburu-buru 

Tak ada lagi pohon jambu dan rumpun bambu 

Kini berderet rumah yang berhimpit, dikotak-kotakkan dengan lorong-lorong yang sempit. Di situlah, di antara tempat tumbuhnya pohon jambu dan rumpun bambu dulu, aku mengikuti garis takdir, bertemu dengan sahabat-sahabat kecilku dahulu

Masih ada tempat persembunyian. Tapi kini bukan peran pura-pura. Kami melakoni peran yang sebenarnya. Tiga sahabatku menjadi perampok bank yang diburu, dan aku menjadi polisi yang memburu

Tak ada lagi bunyi tiruan mulut. Karena yang dipegang bukan senapan kayu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun