"Aku lelaki Angin. Jangan berharap dan percaya padaku," katamu sesaat sebelum menghilangÂ
Aku percaya. Seperti dulu saat kau baru tiba. Tubuh bersimbah darah dengan lubang menganga. "Sembunyi di kamarku," bisikkuÂ
Kau kurawat kujaga. Padahal kau bukan siapa-siapa. Seperti yang lainnya, menaksir tubuhku berharga berapa. Tapi ada yang lain pada dirimu. Itu apa aku sendiri pun tak tahu. "Aku suka matamu, menantang. Seperti gemuruh seribu ombak," katamu membuat aku tersipu. Tak pernah ada lelaki yang memujiku
Kau sedikit bicara. Tapi matamu selalu waspada, mendengar suara-suara yang mungkin menyapaÂ
Akhirnya yang kucemaskan datang juga. "Untuk sementara waktu aku akan menghilang. Tinggalkan tempat ini, dan bawa uang ini. Jaga kandunganmu."
Dan kini setiap pagi di kaki bukit aku menunggumu bersama lelaki kecilmu. Lihat tangannya yang kokoh. Seperti tanganmu, dulu meremukkan dadaku. Lihat juga rambutnya yang tebal. Seperti rambutmu yang dulu kutarik kuremas, karena aku kehabisan napas, dan membenamkan kukuku hingga kulit punggungmu terkelupas. Matanya, matanya mengambil mataku. Apa katamu? Bergemuruh seperti seribu ombak? Aku suka ituÂ
Dan nampaknya angin badai akan datang. "Ayah datang bersama badai, Mak?"Â
MungkinÂ
Cilegon, 2019Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H