Kau masih ingat saat itu kita berlari membelah hujan. Seragam sekolah kita basah. Kita tertawa, mereka-reka cerita kepada orangtua untuk memberi alasan
Kemudian kita selalu berjalan di bawah pelangi. Saling berbalas puisi. Dan, tentu, mendaratkan tinjuku di hidung Ropingi ( ah, satu sekolah meledak karena aku berkelahi memperebutkanmu)Â
Tapi kisah kita tidak seperti puisi-puisi indah yang kukirimkan padamu. Selepas SMA kau menghilang. Tak ada pesan tak ada kabar
Hingga dua bulan lalu, aku bertemu Ropingi. Kami ngakak bareng, teringat kekonyolan masa lalu. Aku ditraktir ngopi ( ah, sukses dia sekarang). Tapi ia mengelak saat aku tanya siapa istrinyaÂ
Dan kini hujan lagi. Memang benar kata orang, dunia terasa begitu sempit. Kita bertemu di sebuah mal dalam cuaca yang sedang sakitÂ
Kau menunggu taksiÂ
Aku menunggu hujan berhentiÂ
Pesonamu masih seperti dulu, walau ada keriput di ujung matamu. Aku? Kau lihat sendiri, tak terlihat lagi warna hitam di rambutkuÂ
Masih ada gemuruh di dadakuÂ
Hujan berhenti. Kau membuka pintu taksi. Mampir ke rumahku, katamu. "Masih ingat Ropingi? Dia kini menjadi suamiku."
Dan kini seperti berbalik, hidungku seperti ditinju Ropingi. Bahkan lebih dari ituÂ
Cilegon, 2019Â
Catatan.Â
Bung Ropingi, sory, namanya dipinjam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H