"Telah kubunuh suamiku dengan puisi."
Suara itu menyelusup, menghantui kepalaku. Lorong-lorong yang suram. Cahaya. Kemudian hitam
Aku seperti mengalami dejavu
Perempuan itu seperti hadir dalam puisi-puisiku, dan aku seperti melihat warna darah dalam air matanya. Itu karena berkali-kali batu, aku membaca larik puisinya
Kutemui perempuan itu di persimpangan, aku menyebutnya Persimpangan Senja
Dia berdiri diam. Aku ragu membaca siluet tubuhnya, apa dia sedang menangis di semburat senja, atau tengah menari menjemput malam. Tapi matanya kosong. Sekelebat kutangkap senyumnya. Amat getir
"Buatlah puisi, dan aku akan menari. Hanya dengan cara itu aku tak merusak surga di kepala anakku."
Kemudian perempuan itu menari, seraya menghindari batu-batu yang menerpa tubuhnya. Aku membuat puisi, tapi aku tak sanggup menyelesaikannya. Aku digenangi air mata
Tiba-tiba ia mengecup bibirku. "Terima kasih telah menghiburku dengan membuat puisi. Dengan puisi juga aku membunuh suamiku, berkali-kali. Hanya dengan cara itu aku dapat mengingat kembali cara mengeluarkan air mata..."
Aku meraba bibirku yang basah
Dejavu?
Cilegon, 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H