Mohon tunggu...
Syahrul Ramadhan
Syahrul Ramadhan Mohon Tunggu... -

Ayahnya Annisa Farah Aini. Dilantik sebagai ayah pada 12 November 2015, ketika seluruh ayah merayakan Hari Ayah Sedunia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apa Jadinya Jika Gajah Menjadi Mitos?

5 Januari 2016   01:08 Diperbarui: 5 Januari 2016   01:08 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selintas bayang dalam benak tuan dan puan, tentang sebuah binatang berbelalai panjang. Katakanlah namanya 'Gajah'. Sejak dahulu, sudah demikian segala moyang memanggil hewan tersebut.

Namun, tahukah tuan dan puan sekalian, bahwa hewan berpopulasi di Pulau Sumatera itu sudah terancam punah. Berdasarkan informasi dari World Wildlife Fund (WWF), sedikitnya ada 10 kasus kematian gajah sepanjang 2015.

Dan, belum selesai tuan dan puan, sepanjang 10 tahun belakangan, jumlah angka kematian gajah lebih dari 150 kasus. Jumlah tersebut, terus berkurang dari informasi pada 1980 an lalu.

Populasi gajah di Riau pada saat itu mencapai jumlah 1.500 an. Namun, dalam kurun 20 tahun kemudian, jumlah populasi gajah jauh mengalami penurunan.

Angka terakhir yang bisa dihimpun mencapai angka kurang dari 140 ekor. Bayangkan, hanya 140 ekor saja tuan dan puan.

Seyogyanya, gajah hidup di kawasan hutan alami dengan grumble atau tempat pemandian dan leyeh-leyeh para gajah. Di Riau, ada sembilan kantong populasi gajah terdiri dari kawasan hutan alami, hutan nasional, suaka margasatwa, cagar alam dan sebagainya.

Namun, angka tertinggi dari kasus kematian gajah justru terjadi di kawasan Suaka Marga Satwa Balairaja di Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis dan di Taman Nasional Tesso Nilo. Bayangkan tuan dan puan hidmat hadirin sidang pembaca sekalian.

Dua kawasan terpadu yang seharusnya dikendalikan penuh baik pengawasan dan penjagaannya oleh Pemerintah di bawah sebuah badan bertajuk Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam atau BBKSDA. Balai tersebut, bertanggungjawab penuh terhadap kawasan hutan alami milik negara.

Namun, jauh panggang dari api, apa yang terhadi tak seperti yang diimpikan. Kawasan SM Balai Raja seluas 18.000 hektar yang berdiri megah itu, hanya tersisa 200 hektar saja. Tak bersisa batang Sialang, Kulim, Meranti dan Cenaku disana.

Semua sirna dengan tanaman sawit dan keserakahan para pembalak. Sejak terbit SK Menhut pada 1986 lalu, hingga tahun 2015, jumlah luasan lahan itu jauh berkurang dengan teramat drastis.

Apatah mau disebut dengan kawasan hutan Taman Nasional Tesso Nilo, tuan dan puan bisa bayangkan sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun