Siapa menyangka, jika Provinsi Riau duduk di peringkat ke 13 dengan kasus kejahatan terhadap anak tertinggi di Indonesia. Parahnya, dalam 50 persen laporan yang diterima oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Riau sepanjang 2015 merupakan kasus pelecehan seksual.
Dalam sebuah diskusi di seminar perlindungan anak pada Selasa (9/12) lalu, Ketua LPA Riau Esther Yuliani mengatakan, mayoritas pelaku kasus pelecehan seksual di Riau adalah keluarga terdekat dan guru ngaji atau ustad.
Bayangkan, apa jadinya anak-anak Riau ketika ruang interaksinya terancam akibat ulah predatornya yang pandai bertopeng. Mendekati si korban dengan modus keluarga dekat atau mentor spiritual.
Lebih parahnya lagi, baik di Riau maupun hampir di seluruh Indonesia, tidak ada aturan baku yang bisa memberi efek jera bagi pelaku kejahatan terhadap anak. Beragam pernyataan dari para orangtua korban yang dihimpun dari berbagai media menyatakan tak puas dengan putusan hukum yang diberikan pada pelaku kejahatan terhadap anak.
Hal tersebut, kata ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Merdeka Sirait mendorong disahkannya UU Kekerasan Seksual Pada Anak agar segera disahkan. Dalam sebuah diskusi di Pekanbaru, Riau pada Selasa (9/12), dengan tegas Aris mengatakan, kejahatan terhadap anak adalah kejahatan kemanusiaan yang harus digolongkan sebagai extra ordinary crime.
Faktornya adalah, anak sebagai bagian dari lingkup keluarga merupakan kelompok terlemah yang membutuhkan perlindungan khusus secara hukum untuk menjaga hak dan kebebasannya. Dari hal tersebut, setiap tindak kejahatan terhadap anak pasti berdampak secara psikologis dan mengancam masa depannya kelak.
Bayangkan, apakah trauma anak sebagai korban kejahatan bisa dianggap impas hanya dengan kurungan terhadap si pelaku selama (katakanlah) 15 tahun. Bagaimana dengan tanggungjawab moral selepas proses hukum berjalan.
Dikarenakan berdampak panjang dan berkelanjutan, maka kejahatan terhadap anak harus digolongkan sebagai extra ordinary crime. Tidak bisa tidak, menurut Aris.
Kembali ke konteks lokal di Pekanbaru, Riau. Dengan tingginya angka kejahatan terhadap anak, beragam sosialisasi dan edukasi terhadap orangtua, baik bapak maupun ibu amat dibutuhkan. Terutama, dalam hal keterbukaan terhadap anak.
Selain itu, kebutuhan terhadap Shelter atau Rumah Aman terhadap korban kejahatan terhadap anak sudah menjadi kebutuhan yang wajib dipenuhi. Paling tidak, istilah kota ramah anak tak hanya menjadi semboyan belaka jika disematkan pada Kota Pekanbaru atau Riau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H