Bermula dari Gambir, sebuah tempat yang menyenangkan untuk memulai cerita..
--
Kereta pada jam yang seperti biasa, sekitar 7 pagi, merapat ke stasiun Gambir. Turunan tangga yang sama, langkah-langkah yang sama, kolega-kolega sesama pengguna kereta yang sama, dan menangkap sosok emak[1] penjual kopi yang sama. Kopi dalam segelas plastik, dengan air panas cukup dua pertiganya, segera berpindah tangan. Dua ribu rupiah. Transaksi cepat, kukira tidak kalah dengan layanan drive thru atau drive through..
--
Yang kupilih berbeda, kopi panas itu tidak kunikmati sambil duduk-duduk menyelonjorkan kaki di beton pembatas parkiran samping emak kopi. Aku memilih cara kedua, menikmati kopi panas sembari berjalan melintas monas menuju kantorku di sisi sebelah barat.
Monas berangin, semburat meniup uap kopi, kadang mampir ke hidung, kadang menerabas kerindangan pepohonan entah kemana. Sebagai aroma, sah-sah saja dia hendak pergi kemana. Tak perlu dituliskan klausula dalam bungkus kopinya bahwa kehilangan aroma kopi karena tiupan angin adalah bagian tak terpisahkan dari akad jual beli..
Monas sudah terlewat, security di halaman kantor tersenyum menyapa ramah, “ngantuk ya, Pak?”
“Hehe..,” aku tertawa kecil, mengangguk, dan melambai, sementara sebelah tangan, dengan tiga jari, memegang bibir gelas kopi, ringan namun erat.
--
Lift membuka, mempersilakanku masuk, bersama reriungan yang sudah menyambut di dalamnya.
“Kopi ya mas?,” suara ramah menyapaku. Ternyata si Mai. Rupanya aroma kopi, lembut dan pelan, mulai memenuhi lift dan menyapa kami semua yang berdesakan merapat di dalamnya. Bercampur dengan kesegaran aroma sabun mandi, shampoo, cologne, pengharum baju, dan bau jeruk yang khas dari pengharum ruangan.