Tempat parkir kosong. Itu ada hubungannya dengan musim hujan yang berangin. Kalau tidak, orang-orang pasti datang ke sini untuk melihat peramal yang meramal garis telapak tangan.
Tita berjalan ke tangga beton yang mengarah ke kediaman sekaligus tempat praktik satu lantai milik sang cenayang. Lampu neon berbentuk memancarkan sinar warna merah muda pucat di jendela, dan sebuah pengetuk pintu kuningan berbentuk kartu tarot mengundangnya untuk menaiki tangga. Tetapi dia berdiri diam.
Tangannya bergerak ke setumpuk kartu tarot yang terselip di sakunya. Dia membawanya, meskipun dia telah membuat resolusi Tahun Baru untuk tidak melakukannya.
Tita memandang ke bawah. Beton retak di anak tangga pertama. Retakan itu bercabang di sepanjang anak tangga dan membuatnya tampak seperti dasar sungai yang kering.
Mitos mengatakan bahwa kalau dia menginjak retakan, punggung ibunya akan patah. Dia mengangkat kakinya untuk menginjak beton yang retak, tetapi ragu-ragu. Lututnya bergetar ketika dia mengangkatnya di atas retakan. Dia terhuyung-huyung dengan kaki lainnya.
Ibunya adalah alasan dia datang menemui sang cenayang. Ibunya sudah tua, dan dokter telah memberitahunya bahwa waktunya sudah dekat. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Dia benci  ketika tidak ada yang bisa dilakukan. Ketidakpastian itulah yang tidak bisa dia tanggung. Jadi, dia membuat janji dan datang, meskipun dia sudah membuat resolusi Tahun Baru.
Dia masih mengangkat kakinya. Napasnya menjadi lebih cepat, dan meskipun anginnya dingin, dia mulai berkeringat seperti ketika dia biasa mencuri camilan manis dari dapur.
Namun, ini bukan mencuri camilan. Tidak ada hubungan nyata antara dia menginjak retakan dan kesehatan ibunya.
Melangkah maju sedikit seharusnya tidak terasa sesulit ini.
Tita memejamkan mata. Dia bisa membayangkan bagaimana takhayul ini lahir. Mungkin seorang pengarang kisah misteri yang kreatif yang memulainya. Atau, mungkin seorang nenek melihat retakan itu dan membayangkan seorang anak yang kakinya terkilir, jatuh, dan tulangnya patah. Berteriak, "Tulangmu akan patah!" tidak akan berhasil. Anak mana yang mau mendengarkan itu? Sebaliknya, sang nenek menciptakan mitos itu. Dia berkata bahwa kalau mereka menginjak retakan itu, mereka akan menyakiti ibu mereka.