Saya bergegas ke kamar mandi setelah membaca artikel tersebut. Cermin yang terendam dalam uap pancuran air panas tampak seperti kabut laut lepas.
Saya memasukkan Q-tip ke telinga saya untuk menampung kotoran yang saya hasilkan dengan susah payah dan mendapatkan sedikit warna kekuningan.
Menurut artikel tersebut, ikan paus juga mengeluarkan kotoran telinga. Saat dewasa, kotoran telinga mereka sudah terkumpul beberapa sentimeter panjangnya. Tetesan air laut berwarna kuning keemasan, kotoran telinga juga menyimpan hormon dan penanda lain tentang kebahagiaan dan kesusahan hidup yang dialami ikan paus.
Artikel tersebut juga mengatakan bahwa pada beberapa spesies paus, paus jantan meninggalkan paus betina dan anak-anaknya untuk menjelajahi wilayah baru.
Sama seperti Ayah.
Ketika dia pergi untuk mendapatkan berita terbaru-katanya-sangat masuk akal bagi saya bahwa dia tidak pernah kembali. Saat itu saya tahu bahwa selalu ada berita baru di suatu sudut dunia.
Jadi, bagaimana mungkin dia bisa menyelesaikan pencariannya?
Bagaimana hari itu terekam di telinga saya?
Hingga kini, saya pikir yang bisa saya dengar hanyalah suara-suara, seperti ucapan selamat tinggal Ayah yang biasa, dan musik blues yang dimainkannya malam sebelumnya.
Mungkin Ibu sudah tahu hal ini sejak lama dan dia meminta saya untuk membersihkan telinga saya setiap pagi karena alasan yang sama ketika dia membuang semua sisa-sisa kehidupan Ayah, termasuk gitar lamanya.
Kotoran yang terselip terlalu dalam tidak dapat diambil dari makhluk hidup. Itulah sebabnya membersihkan kotoran telinga tidak berhasil untuk Ibu.
Saya dapat mendengarnya setelah Ayah pergi, meratap di malam hari, seperti paus biru yang kesepian.
Cikarang, 4 Desember 2024
Inspirasi: The History of the Oceans Is Locked in Whale Earwax
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H