Selembar halaman koran yang dicengkeram angin tak kasat mata berputar-putar seperti hantu dan tersangkut di dahan-dahan pohon.
"Ayo Nek, cuaca ini akan membuat Nenek masuk angin."
"Jangan khawatirkan aku, aku sudah selamat lebih dari tujuh dekade."
Tangga berderit menahan berat badan kami saat kami menaiki pintu. Cahaya bersinar melalui pola lampu timah, mewarnai beranda kecil. Aku bergegas menyalakan kompor di dapur untuk menjerang air. Apinya berkedip jingga.
Nenek menggantung mantel kami di dudukan reyot, duduk di kursi brokatnya yang pudar, dan melepas sepatunya yang ternoda oleh genangan air. Jari-jari kakinya yang kurus memiliki kuku yang terawat baik yang dicat merah cerah. Aku terkekeh. Dia tersenyum.
"Salah satu kemewahan kecil dalam hidupku."
Sepatu ketsku berdecit.
"Sial."
"Lepaskan. Hangatnya dapur akan mengeringkan sepatumu sambil kita makan malam."
Nenek mencoba menarik sepatu bot rajutan menutupi kuku kakinya yang dicat.
"Ayolah, sialan. Tidakkah kamu lihat aku sedang berjuang?"
"Ngomong baik-baik, nanti aku buatkan teh."
"Kaki sialan, anggota tubuh yang sangat aneh kalau sudah tua. Pikiran melakukan tugasnya dengan gampang sementara tubuh berjuang melaksanakannya. Ketekunan diperlukan di usiaku."
"Aku suka cara-cara Nenek yang unik, Nek."
Dia meraih tanganku, "Hati-hati, sifat unik itu turun-temurun, sayang. Sekarang letakkan ketel sialan itu di atas api kompor."
Cikarang, 3 Desember 2024
Note: Terima kasih kepada Panitia Kompasianival 2024 yang telah memberikan voucher Kompasiana Premium 3 Bulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H